Padahal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 terkait penerapan pembiayaan berkelanjutan oleh perbankan.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan, perbankan seharusnya mengedepankan asas prudencial banking atau kehati-hatian dalam penyaluran kredit, agar tidak terjadi perbuatan melawan hukum di internal perusahaan.
"Pada dasarnya di dalam lembaga perbankan dikenal adanya asas prudencial banking dalam mengelola keuangan serta pembiayaan yang melibatkan bank. Jadi sikap bank harus sangat berhati-hati karena menyangkut dana nasabah," ujar dia dalam keterangannya, Kamis (12/5/2022).
Jika terpaksa harus membiayai, perbankan dinilai harus mendapatkan jaminan atau agunan dari para perusahaan pertambangan yang berniat meminjam dana.
"Bila hal ini dilanggar ketentuan dalam UU Perbankan mengenai prudencial banking ini ada dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, di mana ancaman pidananya minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun (penjara) dan denda maksimum Rp 100 miliar," ujarnya.
Selain itu, perbankan juga dinilai perlu mengedepankan transparansi publik, sebagai bentuk pelaksanaan good corporate governance (GCG).
Pengamat Perbankan Deni Daruri menjelaskan, OJK telah memberikan 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan yang menjadi acuan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk melakukan pembiayaan.
"Namun memang belum ada sanksi ataupun insentif yang diberikan kepada LJK. Perlu adanya pengawasan serta review (sanksi dan insentif) jika ingin pembiayaan berkelanjutan dapat benar-benar berjalan," ucapnya.
https://money.kompas.com/read/2022/05/12/210000126/perbankan-didorong-selektif-salurkan-kredit-ke-perusahaan-batu-bara