Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Stabilisasi Harga dan Pasokan Kebutuhan Pokok

Pilu. Apalagi kejadian ini terjadi Kalimantan Timur, salah satu daerah penghasil sawit di Indonesia.

Namun, anehnya, ada yang masih mempertanyakan mengapa orang rela mengantre demi seliter atau dua liter minyak goreng.

Patut dipahami, alasan rakyat kecil rela mengantre berjam-jam untuk mendapatkan minyak subsidi. Bagi rakyat kecil, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok itu berdampak besar.

Sebagian besar dan boleh jadi, semua pendapatannya dialokasikan untuk konsumsi bahan pokok. Sedikit saja harga naik, maka memaksa mereka untuk menguras tabungan, mengurangi konsumsi, mencari pinjaman untuk sekadar bisa bertahan hidup, bahkan yang paling ekstrem mereka berjuang melawan rasa lapar.

Derita yang sama pula dialami oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Terutama usaha yang produknya berbasis minyak goreng.

Pengusaha mengalami dilema. Apabila menyesuaikan harga, khawatir kehilangan pelanggan. Pada sisi lain, apabila tidak menyesuaikan harga, maka mereka akan menderita kerugian.

Bagi UMKM, setiap terjadi gejolak harga, maka biaya produksi akan semakin besar. Konsekuensinya, keuntungan semakin kecil.

Tingginya biaya operasional mengharuskan mereka untuk mengurangi ukuran produk demi mempertahankan harga.

Apabila masih rugi, meski kuantitas produk dikurangi, mau tidak mau, mereka harus tetap menaikan harga dan mengurangi kuantitas produk secara bersamaan. Fenomena ini, populer disebut “Shrinkflation”.

Shrinkflation adalah kondisi di mana barang yang dijual harganya meningkat dan kuantitas produk kecil. Dampak shrinkflation lebih parah dari inflasi. Shrinkflation tidak hanya menurunkan daya beli, namun juga konsumen akan merasakan ketidakpuasan optimal atas barang yang dibeli (underutility).

Penyebab naiknya harga dan langka minyak goreng

Kenaikan harga minyak goreng merupakan dampak dari naiknya harga CPO internasional sejak akhir desember 2021.

Harga komoditas minyak sawit terus meningkat hingga maret 2022, tercatat harga CPO hampir meningkat dua kali lipat.

Meningkatnya harga CPO, pada satu sisi mendorong perusahaan kelapa sawit lebih cenderung menambah volume ekspor CPO ke luar negeri daripada memenuhi kebutuhan CPO lokal. Konsekuensinya, harga produk turunan CPO otomatis akan meningkat termasuk minyak goreng.

Sebagai langkah antisipatif, pemerintah menetapkan kebijakan satu harga untuk minyak goreng, yakni Rp 14.000 per liter.

Kebijakan tujuannya baik, agar minyak goreng dapat terjangkau. Namun lemahnya pengawasan distribusi minyak goreng membuat minyak goreng menjadi langka.

Kelangkaan minyak goreng merupakan efek samping (negatif eksternalities) dari kebijakan satu harga. Kebijakan satu harga membuat disparitas harga minyak goreng domestik dan luar negeri semakin besar.

Disparitas ini memicu aksi spekulasi dari vested interest: menimbun bahkan penyelendupan. Konsekuensinya, distribusi minyak ke konsumen terbatas dan tidak kontinu.

Operasi Pasar yang dilakukan pemerintah melalui Perum Bulog belum mampu mengurai dan memenuhi kebutuhan nasional yang mencapai 5,7 juta ton per tahun.

Untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dan mengendalikan harganya, maka DPR- RI mendorong pemerintah menerapkan Kebijakan Domestik Market Obligation 30 persen untuk CPO dan penghapusan kebijakan satu harga.

Konsekuensinya, stok minyak goreng kembali memenuhi gerai-gerai pusat perbelanjaan dan harga perlahan turun.

Merujuk data Kementerian Perdagangan, meskipun harga-harga minyak goreng masih relatif masih tinggi jika dibandingkan per Januari 2022, namun secara gradual, sejak pertengahan Juni 2022 sampai bulan Agustus 2022, harga minyak goreng terus turun.

Tercatat per Agustus 2022, Harga minyak goreng premium Rp 23.000,- atau menurun sebesar -11,15. Minyak goreng kemasan sederhana Rp 23.100,- atau turun -18,9 persen, minyak goreng curah Rp 14.200 atau menurun sebesar -17, 44 persen.

Setidaknya, ada empat penyebab turunnya harga minyak goreng. Pertama, mulai pertengahan bulan Juni 2022, harga minyak kelapa sawit (CPO) anjlok di pasar komoditas internasional.

Kedua, efek jangka panjang dari kebijakan DMO 30 persen CPO, menyebabkan melimpahnya stok CPO pada pasar lokal.

Ketiga, liberalisasi harga minyak goreng dengan penghapusan kebijakan satu harga. Keempat, PT. Perkebunan nasional telah mengalokasikan 70 persen CPO atau 750.000 ton untuk produksi minyak goreng guna menambah stok minyak goreng di pasar domestik.

Kebijakan stabilisasi harga kebutuhan pokok

Dari kisruh minyak goreng, dapat diambil pelajaran, bahwa risiko instabilitas dan kelangkaan dapat pula terjadi pada bahan kebutuhan pokok lain, seperti beras, kedelai, gula, tepung, cabai, daging sapi, daging ayam, telur dan ikan segar.

Meskipun kebijakan stabilitasasi harga dan pasokan berbeda dengan kebijakan harga dan pasokan minyak goreng. Sebagai contoh, barang kebutuhan pokok hasil pertanian: beras, kedelai, cabai dan bawang.

Untuk beras, tidak bisa harganya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme penawaran permintaan pasar karena pada saat panen, biasanya harga anjlok, penerimaan petani tidak mampu menutupi biaya operasional.

Untuk itu pemerintah perlu menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) atau (ceiling price). HET ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan biaya produksi, distribusi, pemasaran serta daya beli konsumen.

Dengan demikian, penetapan harga seperti ini, petani dan perdagang beras akan mendapatkan keuntungan wajar. Pada sisi lain, masyarakat akan mendapatkan harga terjangkau.

Apabila pasokannya terbatas karena kegagalan panen, maka pemerintah dapat melakukan kebijakan perdagangan dengan mengimpor beras dari luar negeri guna memenuhi stok dalam negeri (buffer stock).

Namun kegiatan impor hanya dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan beras nasional. Ada beberapa kejadian, kebijakan impor beras dilakukan oleh pemerintah, padahal petani lokal akan melakukan panen raya.

Kebijakan ini kontraproduktif dan menghancurkan harga gabah dan beras lokal. Kebiasaan seperti ini perlu dihindari karena merugikan petani.

Sementara, untuk bahan pokok hasil industrial seperti minyak, gula dan tepung harganya sangat ditentukan oleh volitalitas komoditas dunia.

Apabila harga CPO, gula dan gandum meningkat, maka cenderung meningkat harga produk turunan dari komoditas itu, seperti: gula, minyak goreng dan gandum.

Untuk mengendalikan harga, maka dapat menggunakan dua penetapan harga, yakni subsidized prices dan dual pricing system.

Dalam jangka pendek, apabila pemerintah belum dapat berproduksi sendiri produk turunan seperti minyak goreng, tepung dan gula, atau kalaupun berproduksi skalanya masih terbatas, maka pemerintah dapat memberikan harga subsidi ke produk pangan tersebut dan menetapkan single price setting (penetapan harga tunggal).

Namun penetapan harga tunggal memiliki risiko, yakni meningkatnya kegiatan spekulatif seperti penimbunan dan penyelundupan barang subdisi.

Cara lain dapat dilakukan pemerintah dengan memberikan subsidi langsung ke penerima bantuan dalam bentuk uang tunai.

Namun, kebijakan ini memiliki risiko juga karena penerima bantuan akan membeli barang yang bukan menjadi kebutuhan pokok.

Pada sisi lain, apabila pemerintah melalui BUMN sektor pangan telah mampu memproduksi sendiri bahan kebutuhan pokok hasil industrial seperti tepung, minyak goreng dan gula, maka pemerintah dapat menetapkan kebijakan dual pricing system.

Kebijakan itu, yakni harga produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan swasta dibiarkan ditentukan oleh mekanisme pasar.

Sementara harga produk pangan yang dihasilkan perusahaan pemerintah, harganya ditetapkan antara market value price dan break even point price.

Strategi ini akan berimplikasi pada penetapan harga wajar, apabila terjadi kenaikan juga wajar dan para industrialis akan mendapat keuntungan normal.

Percepat kinerja ID Food Holding BUMN Cluster Pangan

Pada praktiknya, produksi pangan hasil industrial telah dibentuk oleh holding BUMN Perkebunan Indonesia baik untuk produksi gula dan minyak goreng.

Yang patut dilakukan kedepan adalah menambah skala produksi untuk pemenuhan kebutuhan minyak goreng. Ini penting mengingat jumlah perusahaan minyak goreng di Indonesia masih terbatas, sementara kebutuhan minyak goreng sangat besar.

Berdasarkan data Kementerian BUMN, kebutuhan minyak goreng nasional 5,7 juta ton per tahun.

Selain itu, pemerintah perlu serius memperbaiki kinerja holding cluster pangan. Mengingat masih banyak produk pangan yang belum diintervensi pada pasar pangan oleh pemerintah seperti daging sapi, daging ayam, telur dan tepung. Harga komoditi sangat volatile di pasar.

Kinerja Holding BUMN Pangan dengan nama ID FOOD yang telah diresmikan Menteri BUMN Erick Thohir pada Januari 2022, sangat dinantikan untuk mengatasi anjloknya harga pangan ketika barang oversupply, serta menjual dan mendistribusikan komoditi pangan tersebut ketika harga mengalami kenaikan guna menstabilkan harga.

Peran Holding BUMN Sektor pangan dalam pasar sangat penting agar tercipta stabilitas harga dan ketersedian pasokan pangan sesuai kebutuhan pasar.

Sebagai contoh, peran Perum Bulog dalam menjaga stabilitas harga beras dan menjaga stok beras nasional. Sepanjang tahun 2022, harga beras stabil, kalaupun ada dinamika harga maka cenderung masih pada ambang batas normal.

Perum Bulog melakukan pembelian gabah petani di saat harga gabah anjlok saat panen raya. Perum Bulog membeli sesuai Harga Pokok Pemerintah.

Namun di saat harga beras di pasar melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), maka Perum Bulog melakukan operasi pasar dengan menjual beras sesuai dengan HET. Tindakan ini akan mendorong harga beras terkendali.

Saat ini Perum Bulog diberikan tugas tidak hanya menjaga stabilitas harga beras, namun juga komiditas pangan lainnya: kedelai, minyak goreng, gula dan daging.

Inovasi Perum Bulog mengeluarkan merek dagang produk pangan “KITA’ patut diapresiasi. Namun kapasitasnya terbatas sehingga tidak mampu menjangkau semua segmentasi pasar pangan.

Untuk itu perlu didukung dan terintegrasi dengan perusahaan BUMN yang memproduksi bahan pangan.

Sebab itulah, percepatan kinerja ID Food selaku holding BUMN sektor pangan sangat mendesak untuk diwujudkan.

Stabilisasi harga kebutuhan pokok pangan tidak bisa menggunakan satu kebijakan tunggal. Ada banyak pilihan kebijakan dan melibatkan lintas sektoral dan bidang pemerintahan.

Untuk itu dibutuhkan satu Lembaga negara yang mampu mengkoordinasikan semua pihak, baik itu pada lintas kementerian maupun lembaga negara lainya yang memiliki persinggungan dan tanggung jawab dalam menyediakan stok, pasokan dan stabilitas pangan nasional.

Dalam UU No.18 Tahun 2012 tentang pangan telah mengamanatkan pembentukan lembagan pangan nasional.

Namun sejak 9 tahun setelah UU Pangan ini ditetapkan, baru dibentuk Lembaga pangan nasional pada tanggal 16 juli 2021.

Lembaga Pangan Nasional bertugas menjaga stabilisasi harga dan stok pangan tersedia sesuai kebutuhan.

Begitu besar tanggung jawab LPN, sekaligus juga membawa misi mulia, yakni menjadi garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Namun apakah, LPN mampu memikul tanggung jawab itu. Tentu hanya waktu yang bisa menjawab.

https://money.kompas.com/read/2022/08/23/170016226/stabilisasi-harga-dan-pasokan-kebutuhan-pokok

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke