Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perpres 112/2022 Dinilai Tak Dukung Transisi dari PLTU Batubara, Mengapa?

Hal ini tertuang dalam Pasal 3 angka 4 Perpres 112/2022 yang mana memberikan ruang bagi PLTU beroperasi sampai dengan tahun 2050 dikawasan industri, sangat kontradiktif dengan upaya mencapai transisi energi yang lebih bersih.

“Selama ini pemerintah mendorong industri yang lebih ramah lingkungan seperti ekosistem mobil listrik dan baterai, tapi sumber listrik untuk produksi masih bersumber dari batu bara, jelas kurang konsisten,” kata Direktur Kajian Energi Terbarukan Celios, Dzar Azhari di Jakarta, Selasa (4/10/2022).

Dzar menambahkan, hal terakhir yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah, bahwa bersamaan dengan Perpres 112/2022 ini juga sedang disusun Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).

Poin yang menjadi perhatian dari RUU EBT adalah dalam tahapan Transisi yang belum rinci dan jelas. Selain itu baik Perpres 112/2022 dan RUU EBT tidak memiliki peta jalan yang menimbulkan optimisme transisi energi bersih dapat tercapai dalam waktu singkat.

“Perlu perombakan secara total terhadap konsep transisi energi bersih,” tegas Dzar.

Sementara itu, Zuhad Aji Firmantoro, Direktur Kajian Hukum Celios mengatakan, ada juga pertanyaan besar berikutnya dalam Perpres 112/2022, yakni arah pengaturan yang di tetapkan. Menurut dia, perpres tersebut terkesan lebih mengatur soal investasi atas Energi Terbarukan di Indonesia.

“Maksud dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada kenyataannya tidak ada satupun dalam pasal 2 Perpres ini yang menjelaskan capaian secara umum yang diharapkan atas bauran Energi Terbarukan, ukuran pengutamaan pembelian tenaga listrik dari pembangkit Listrik energi terbarukan, dan kemampuan masyarakat selaku konsumen listrik,” jelas Aji.

Aji menambahkan, jika target emisi gas rumah kaca 35 persen tidak tercapai, pemerintah bisa saja berkilah hal ini karena kurangnya pendanaan. Padahal, ada jalan keluar pembiayaan dengan demokratisasi energi dimana partisipasi aktif masyarakat dalam mendorong transisi energi di pedesaan misalnya bisa dimunculkan.

“Untuk mendorong transisi energi, Indonesia punya potensi EBT yang besar dari mulai mikro-hidro, solar panel hingga gelombang air laut,” lanjut Aji.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira. Bhima menilai, kehadiran Perpres 112/2022 ditujukkan oleh Pemerintah untuk mendapatkan pendanaan dari program transisi energi internasional.

“Ada kejanggalan dari regulasi transisi energi, apakah ini berkaitan dengan proses pencairan dana JETP (Just Energy Transition Partnership) misalnya, yang masuk dalam tahap negosiasi dengan Pemerintah Indonesia? Jadi terkesan aturan ini seolah ingin menyenangkan donor JETP, tapi tetap memberi ruang bagi pembangkit PLTU batubara. Sungguh hal yang aneh,” ujar Bhima.

Menurut Bhima, dana JETP adalah sumber pendanaan yang diberikan oleh Negara G7 untuk mempercepat transisi energi dari ketergantungan pembangkit batubara. Sebelumnya Afrika Selatan menerima dana JETP sebesar 8,5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 127,5 triliun, dan Indonesia merupakan kandidat potensial setelah Afrika Selatan.

https://money.kompas.com/read/2022/10/04/181000426/perpres-112-2022-dinilai-tak-dukung-transisi-dari-pltu-batubara-mengapa-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke