Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Taktik Pangan Akhir Tahun

Diperparah lagi, kondisi ini bersamaan dengan bencana di beberapa daerah yang merusak tatanan sosial dan ketahanan ekonomi masyarakat.

Wilayah bencana tersebut dianggap sebagai daerah subur penghasil pangan produktif seperti Cianjur, Garut, dan Lumajang.

Akhirnya disetujui impor 200.000 ton beras untuk menyeimbangkan lonjakan harga pasar.

Kebijakan ini sebenarnya memiliki kekurangan karena hampir setiap tahun kita selalu memiliki masalah yang sama.

Saat ini cadangan beras pemerintah sebanyak 1,2 juta ton. Tidak akan mujarab jika simpul masalah kenaikan harga justru dipicu banyak faktor seperti kenaikan BBM.

Lagi pula beras bukan satu-satunya bahan pangan. Kebijakan impor memunculkan stigma bahwa pemerintah gagal dalam menyeimbangkan pasokan.

Di sisi lain, lemahnya peran Bulog meningkatkan pengadaan gabah atau beras dari petani domestik untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP).

Agenda operasi pasar bernama Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) harus digalakkan kembali.

Hitungan pada Agustus dan September 2022 lalu, serapan CBP masing-masing sebesar 214.912 ton dan 189.059 ton atau rerata 201.985 ton per bulan.

Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi tahun ini diperkirakan mencapai 55,67 juta ton gabah kering giling (GKG). Bila perkiraan BPS tersebut tepat, maka akan ada peningkatan sebesar 1,25 juta ton GKG.

Jika asumsi itu lurus dengan kenyataan, dengan mengacu pada teori stabilitas harga dan pasokan dalam menjaga stabilisasi harga gabah/beras di tingkat petani, maka harga Pembelian Pemerintah (HPP) harusnya akan lebih efektif.

Kalau demikian, maka penetrasi Bulog pada pasar justru akan menaikkan harga jual beras.

Swasembada rapuh

Akhir tahun permintaan pasar akan melonjak. Lebih lagi persoalan bencana di beberapa titik tanah air akan memicu konsumsi beras cukup tinggi.

Padahal, daerah terkena musibah merupakan wilayah yang cukup produktif sebagai penghasil pangan. Bencana pada wilayah pertanian produktif mengakibatkan angka kemiskinan bisa bertambah.

Kehilangan tempat tinggal dan kepercayaan diri memulihkan mental untuk kembali menggarap lahan menjadi tantangan.

Wacana swasembada pangan akan percuma jika pertumbuhan penduduk miskin masih stagnan.

Daya beli yang rendah akan membuat swasembada masyarakat akan percuma. Kaum miskin hanya bisa memenuhi daya konsumsi primernya.

Swasembada pangan belum menjamin harga beras turun, sementara rendahnya daya beli penduduk miskin belum cukup mampu mengakses beras di pasaran.

Kemampuan penduduk miskin dalam memenuhi konsumsi beras berpengaruh besar terhadap status kemiskinan.

Dari hasil Rapat Koordinasi Pusat dan Daerah tentang Pengendalian Inflasi September lalu telah menyatakan faktor konsumsi beras memengaruhi kemiskinan yang utama.

Tercatat, pada Maret 2022, kontribusi beras terhadap GK di perdesaan sebesar 23,04 persen dan di perkotaan sebesar 19,38 persen.

Memang, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa capaian swasembada beras merupakan dampak langsung dari pembangunan infrastruktur di bidang pertanian.

Sudah 29 bendungan besar telah diresmikan dan 38 bendungan lainnya akan selesai dibangun.

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki target khusus pada tahun 2024 akan menyelesaikan 61 bendungan plus 4.500 embung dan 1,1 juta jaringan irigasi.

Sebagai perbandingan bahwa tingginya kontribusi beras terhadap GK di perdesaan dibanding di perkotaan pararel dengan tingkat kemiskinannya.

Data kemiskinan pada Maret 2022, di perdesaan sebesar 12,29 persen, sedangkan angka kemiskinan di perkotaan 7,50 persen.

Hal itu sekaligus mengisyaratkan, semakin tinggi kontribusi beras terhadap GK di suatu daerah cenderung semakin tinggi pula tingkat kemiskinannya di daerah itu.

Pedesaan menjadi kunci utama agar masyarakat berpenghasilan rendah dapat merata mendapatkan kebutuhanya.

Kebijakan ini mengutamakan penerapan pertanian intensif melalui teknologi dan modernisasi pertanian, seperti bibit padi unggul, pupuk kimia, pestisida, herbisida, dan alat-alat pertanian yang canggih.

Keterikatan pertanian dan pedesaan harusnya memiliki kepekaan pada ketimpangan struktural.

Menurut Sajogyo (1973), petani pedesaan yang umumnya berpendapatan rendah memiliki lapisan sosial dan struktural sehingga setiap kebijakan pertanian harus dicek ulang menguntungkan lapisan sosial petani yang mana.

Penguasaan petani atas lahan produktif memang tidak memadai. Riset yang dilakukan oleh Sajogyo Institute (2019) bahwa 47,71 persen lahan pertanian dikuasai oleh 90 persen rumah tangga petani. Angka ini sangat kecil untuk meningkatkan pertanian mereka.

Sementara 54,29 persen lahan lainnya dikuasai oleh 12 persen pemilik tanah besar.

Kondisi ini sangatlah timpang untuk sekadar membayangkan petani bisa bersaing dalam mewujudkan tangga swasembada atau kesejateraan masyarakat.

Ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, perlu kebijakan setara yang memastikan beras atau jenis pangan lainnya tidak dimonopoli dengan ketetapan harga beli pemerintah yang harus diikuti.

Kedua, keberpihakan kebijakan pembangunan pertanian dan perdesaan harus diluruskan ke arah kelompok paling lemah, bukan untuk segelintir elite dan korporasi besar.

Artinya, modernisasi (pertanian) tanpa berhasil mengangkat harkat dan menjalankan transformasi sosial kelompok lapisan petani miskin perdesaan adalah pembangunan yang semu.

https://money.kompas.com/read/2022/12/20/073000926/taktik-pangan-akhir-tahun

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke