Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sawah Kita yang Terus Menyusut

Kementan mengoreksi beberapa programnya, salah satunya jumlah bantuan pupuk subsidi bagi pemda yang luas baku sawahnya menurun. Demo para petani yang merasa kurang bantuan pupuk subsidi harus dihadapi oleh pemda.

Verifikasi kemudian dilakukan melibatkan ahli-ahli dari LAPAN (sekarang BRIN), BIG dan Balai Besar Sumber daya lahan Pertanian (BBSDLP), Kementan dan ATR/BPN menggunakan data spasial dari satelit dengan presisi tinggi.

Hasil kerja keras mereka, data sawah kita yang sudah dipetakan dengan presisi mencapai 7.463.987 ha melalui Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 686/SK-PG.03.03/XII/2019.

Inilah data sawah kita yang terakhir digunakan semua lembaga dan pemerintah daerah di Indonesia.

Sawah kita dari masa ke masa

Berapa luas sawah kita pada pada masa kolonial? Kalau merunut informasi yang disampaikan Oudejans (1999) dalam disertasinya di Landbouw Universiteit Wageningen, Belanda, sawah yang ditanami padi pada masa kolonial kurang lebih 6 juta ha.

Luas sawah kita yang ditanami padi pada 1950-an yang tecatat di Jawa dan Madura berjumlah sekitar 3,5 juta, sementara di luar Jawa sekitar 2,4 juta ha (Oudejans, 1999).

Selama masa pendudukan Jepang 1942-1945, sawah kita masih seperti semula bahkan banyak yang terbengkalai dan menyebabkan produksi beras mengalami penurunan yang drastis karena tidak terpeliharanya fasilitas irigasi.

Penurunan hasil padi yang ditanam pada sawah kita mencapai 20 persen pada 1945 dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 1950-1960-an, tidak tercatat penambahan sawah kita, mungkin karena situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil.

Dengan situasi pembangunan yang stagnan akibat situasi politik, pengurangan lahan sawah akibat alih fungsi lahan juga rasanya tidak terjadi.

Yang tercatat bahwa kita harus mengimpor banyak beras dan pupuk yang menguras devisa negara. Inflasi mencapai 500 persen yang menyebabkan chaos di beberapa wilayah Indonesia.

Setelah situasi stabil, sawah kita bertambah drastis pada masa tahun 1970-1980-an dengan dimulainya Pelita pada tahun 1969.

Pemerintah melakukan kerja fenomenal dan monumental dengan melakukan pencetakan sawah besar-besaran di lahan rawa pasang surut yang ada di Sumatera dan Kalimantan.

Target dari proyek besar ini adalah membuka lahan rawa seluas 5,25 ha untuk dijadikan sawah selama 15 tahun.

Kegiatan ini dilakukan melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dengan melibatkan perguruan tinggi di Jawa dan luar Jawa, utamanya IPB, UGM dan ITB untuk survei investigasi dan rancang bangun pengairannya dan demoplot tanaman.

Melalui proyek ini dan pencetakan sawah yang dilakukan oleh masyarakat lokal secara mandiri menambah luas sawah sekitar 2,6 juta ha.

Luas sawah kita yang tercatat pada tahun 1996 adalah 8,51 juta ha. Luas sawah kita pada tahun 2013 yang dikeluarkan ATR/BPN adalah 7,79 juta ha. Pada tahun 2019 luas baku sawah kita adalah 7.463.987 ha.

Dari luas baku sawah (2019), Jawa mendominasi (47 persen) disusul Sumatera (24 persen), lalu Sulawesi (13 persen), sementara Kalimantan (10 persen), Nusatenggara-Bali (6 persen), dan Maluku dan Papua (1 persen).

Jika berdasarkan kualitasnya, ada sekitar 2,9 jt ha lahan beririgasi; 3,040jt ha lahan tadah hujan, dan 1,523 jt ha lahan sawah rawa pasang surut/lebak.

Lahan yang beririgasi, sebagian besar berada di Jawa, memiliki kualitas lebih baik dibandingkan jenis sawah lainnya (tadah hujan dan pasang surut).

Intensitas tanam dapat dilakukan paling tidak 2x dalam setahun pada lahan beririgasi, sementara pada sawah tadah hujan maupun pasang surut umumnya ditanami 1 kali setahun.

Sawah kita dan tekanan konversi lahan

Sejak tahun 1998, sawah kita secara konstan mulai berkurang. Tekanan terhadap sawah kita semakin besar dan tidak tertahankan karena faktanya kita sudah kehilangan sawah kita sangat banyak.

Pada periode 1993-2002, sawah kita yang terkonversi sekitar 1,1 juta ha sementara pada periode 2003-2012 sawah kita yang berkurang 298.000 ha (Irianto, 2016).

Tulisan Anny Mulyani dkk (2016) menunjukkan bahwa konversi lahan sawah kita secara nasional 96.500 ha/tahun, sedikit lebih tinggi dibanding laju konversi lahan sawah Nasional yang diprediksi oleh Irawan dkk (2006), yaitu 90.417 ha per tahun.

Jika tidak dikendalikan dengan laju konversi seperti di atas, maka pada tahun 2045, sawah kita hanya tersisa 5,1 juta ha.

Secara langsung atau tidak langsung, konversi kita tidak hanya menjadi ancaman terhadap produksi pangan nasional, tetapi secara nyata mendestruksi sistem pangan kita termasuk penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani.

Keseimbangan ekosistem pun terganggu akibat hilangnya lahan sehingga air hujan tidak terserap ke lahan.

Prof. Fahmuddin Agus dkk dari Balai Penelitian Tanah menyampaikan betapa pentingnya multifungsi sawah kita yang salah satunya sebagai pengendali banjir.

Ada angka-angka opportunity loss akibat hilangnya sawah kita yang tidak terhitung. Kita mungkin akan lebih sering mengalami kejadian banjir pada tahun-tahun mendatang ketika sawah kita hilang diganti dengan beton dan besi.

Investasi besar membangun waduk dan fasilitas irigasi akan menjadi mubazir, padahal uangnya dari utang (loan), akibat gelap mata karena silau dengan rente konversi lahan sawah.

Pertanyaan fundamentalnya adalah dapatkah luasan sawah kita tersebut memenuhi pangan penduduk kita pada tahun-tahun mendatang?

Pertanyaan di atas membuat kita harus was-was karena penduduk kita pada tahun 2045 diperkirakan mencapai 350 juta jiwa.

Semua perut dari ratusan juta penduduk Indonesia hanya ditopang oleh sawah 7,46 jt ha yang terus berkurang karena konversi lahan!

Bandingkan dengan luas sawah di Vietnam (7,78 jt ha) atau Thailand (8,67 jt ha) tetapi dengan jumlah penduduk yang jauh di bawah kita, yaitu sekitar 97 juta penduduk Vietnam dan 71 juta penduduk Thailand.

Kita punya produtivitas padi yang lumayan bagus (5,4 t/ha), sedikit lebih rendah dibanding Vietnam (5,5 t/ha) tetapi jauh di atas Thailand (2,9 t/ha).

Kita termasuk 4 besar setelah Cina dan India serta Bangladesh dalam memproduksi padi, mengalahkan Vietnam dan Thailand, tetapi sekali lagi kita juga memiliki jumlah mulut yang jauh lebih besar dibandingkan Vietnam dan Thailand sehingga mereka menjadi langganan kita untuk beli (impor) beras.

Satu hal yang pasti bahwa luas sawah mereka (Thailand dan Vietnam) tidak banyak berubah dari sepuluh tahun yang lalu.

Sementara sawah kita menyusut cukup drastis, sedangkan penambahannya setelah tahun 2000-an sangat tidak signifikan.

Irianto (2016) mencatat bahwa pada periode 2006-2010 sawah baru yang dicetak hanya 69.000 ha, sementara pada periode 2011-2012 sekitar 138.000 ha.

Jawaban terhadap pertanyaan di atas diungkapkan oleh Anny Mulyani dkk (2022) dari Balai besar Sumber Daya Lahan Pertanian dan IPB University yang memprediksi kapasitas produksi padi dari sawah kita pada tahun 2045 mendatang menggunakan berbagai skenario konversi lahan dan tingkat konsumsi.

Jika hanya mengandalkan sawah kita yang ada dengan status quo (konversi dan tingkat konsumsi tetap berjalan seperti saat ini), maka kita perlu tambahan 25,9 juta ton padi atau 15,54 juta ton beras! Suatu jumlah yang luar biasa besar yang belum tentu ada di pasar dunia.

Kita harus memahami bahwa jumlah penduduk Vietnam, Thailand bahkan India dan Cina juga ikut bertambah pada 2045, sehingga kebutuhan domestik mereka juga perlu diutamakan.

Jadi jika mengandalkan impor, maka bersiap-siaplah untuk berkompetisi membeli dan mencari beras dengan harga mahal yang menghabiskan devisa negara.

Apa yang bisa kita dilakukan? Pertama, tekan konversi lahan sawah kita semaksimal mungkin. Regulasinya sudah tersedia yang mengatur konversi lahan, yaitu UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dilengkapi dengan Peraturan Presiden No 59 tahun 2019 tentang pengendalian alih fungsi lahan.

Data berikut yang diolah oleh Dr. Erma Suryani, Analis kebijakan di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, mungkin dapat menggambar bagaimana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang diamanatkan oleh UU 41/2009 maupun Perpres 59/2019 masih belum sepenuhnya diacu atau ditetapkan oleh Pemkab.

Dari 506 Kab/kota di Indonesia (minus DKI Jakarta), ada 361 Kab/kota (71 persen) yang telah menetapkan LP2B melalui Perda RTRW/Perda LP2B, itupun hanya 85 Kabupaten/Kota atau 16,8 persen yang menetapkan RTRW/LP2B yang didukung data spasial.

Sementara Perda LP2B yang ditetapkan kabupaten/kota hanya 179 kabupaten/kota dengan dilengkapai data spasial hanya 45 Perda atau hanya 8,89 persen. Sungguh sangat memprihatinkan!

Luas LP2B dari Perda RTRW hanya 5,5 juta ha. Artinya luas lahan pertanian kita akan hilang secara perlahan dan pasti jika tidak ada upaya yang luar biasa (extraordinary) dari semua pihak terkait.

Regulasi yang yang diatur pemerintah bagaikan macan kertas. Konversi lahan sawah sudah pada tahap yang sangat mengkhawatirkan sehingga menyebabkan ketergantungan Indonesia dari pasokan luar negeri akan meningkat dan akan menggangu ketahanan pangan nasional yang pada akhirnya dapat menggangu stabilitas nasional.

Kita berharap komitmen dari pimpinan yang sangat kuat dan tentunya seluruh elemen masyarakat. Kita juga berharap pil pahit Srilanka yang menjadi negara gagal (fail state) akibat abai pada masalah pangan, tidak terjadi pada kita.

Kedua, kita harus mulai memikirkan untuk cetak sawah baru secara besar-besaran at all cost. Cara ini merupakan pembelajaran dari keberhasilan swasembada pangan 1984.

Data lokasi dapat diminta kepada Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian yang sudah memetakan potensi lahan untuk pangan.

Pas aji mumpung, membangun Ibu Kota Negara (IKN) kenapa tidak sekalian melakukan penyiapan lahan pangan sebagai penopang IKN di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Jutaan ha lahan di Kalimantan banyak tersedia, sekaligus bawa masyarakat yang biasa bertani ke lahan-lahan pangan tersebut. Di satu sisi mendistribusi sekaligus menambah penduduk di Kalimantan, di sisi lain mengurangi fragmentasi lahan sawah kita di Jawa.

Ketiga, kita sudah harus melakukan identifikasi lokasi-lokasi yang memerlukan rehabilitasi dan memerlukan pembanguan fasilitas irigasi di berbagai lokasi di luar Jawa atau bahkan di Jawa.

Identifikasi kerusakan dapat dilakukan melalui satelit dengan presisi tinggi yang saat ini teknologinya tersedia dan kita punya banyak ahlinya di Indonesia.

Setelah itu, rehabilitasi dan pembangunan fasilitas irigasi harus segera dilakukan. Ini dapat mendorong kenaikan luas tanam, sebagai lesson learn yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menjadikan Indonesia swasembada dan bahkan eksportir beras pada tahun 1941.

Menaikkan produktivitas sawah kita sebetulnya merupakan alternatif selanjutnya. Namun hal ini dihadapkan pada fakta bahwa sawah kita mengalami levelling off. Susah sekali menaikkan gabah per ha sawah. Diduga karena penurunan kualitas sawah.

Produktivitas padi pada tahun 1968-1990-an yang dicatat oleh Oudejans (1999) dimulai 2,14 t/ha lalu naik menjadi 2 kali lipat setelah 20 tahun (4,30 t/ha pada 1990) tetapi mulai melandai kenaikannya setelah 1990-an.

Selama hampir 30 tahun (1990-2019) naiknya hanya 0,9 ton, kurang dari 1 ton per ha. Artinya per tahun hanya naik 30 kg/ha.

Sawah kita juga dihadapkan pada perubahan iklim global yang ditandai dengan makin seringnya kejadian banjir dan kekeringan plus lagi intrusi air laut dan peningkatan muka air laut.

Pada saat kekeringan yang ekstrem pada tahun 1995, kita harus mengimpor lebih dari 3 juta ton beras.

Selama masa krisis ekonomi 1998, kita mengimpor lebih dari 4 juta ton beras bahkan berlanjut dengan angka yang serupa setiap tahunnya sampai 2003. Hal ini menunjukkan betapa fragile-nya sawah kita.

Yang juga tidak kalah pentingnya yang dihadapi oleh sawah kita adalah luas kepemilikan yang semakin terfragmentasi.

Data BPS menunjukkan bahwa jumlah petani yang memiliki sawah kurang dari 0,3 ha semakin meningkat.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib sawah kita yang ratusan tahun menopang pangan masyarakat Indonesia.

https://money.kompas.com/read/2023/03/03/145038026/sawah-kita-yang-terus-menyusut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke