Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perlunya Data Klasterisasi Produksi Padi

Presiden Joko Widodo pada Sabtu (11/3/2023), saat panen raya padi di Kartoharjo, Ngawi, Jawa Timur menyebut bahwa panen di Kabupaten Ngawi bisa menghasilkan padi 8-10,5 ton per hektar.

Sebelumnya pada 9 Maret 2023, saat panen raya di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah juga menghasilkan produksi padi sebesar 5,5- 6 ton per hektar.

Kabupaten Ngawi menjadi contoh menarik bagi budidaya padi di tanah air.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mendampingi Presiden dalam panen raya tersebut mengatakan, produksi padi di Kabupaten Ngawi jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain, mencapai produksi padi rata-rata 8 ton per hektar.

Padahal lahan sawah di Ngawi bukan sawah irigasi. Salah satu kuncinya, petani di Ngawi sangat kreatif menggunakan pompa air untuk memenuhi kebutuhan pengairan sawah.

Hal ini membuat Ngawi tetap berkontribusi tinggi pada luas panen di Jatim. Luas panen Maret 2023 di Ngawi tercatat 32.676 hektar dari luas panen 375.403 hektar Provinsi Jatim.

Panen raya pada bulan Februari 2023 tercatat 1,20 juta hektar. Perkiraan produksinya 6,39 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 3,68 juta ton beras.

Selanjutnya panen raya pada Maret 2023, diprediksi sawah yang akan panen seluas 1,70 juta hektar dengan produksi 9,14 juta ton GKG. Produksi tersebut setara dengan 5,26 juta ton beras.

Sementara pada April 2023, sawah yang akan panen seluas 1,15 juta hektar dengan produksi 6,09 juta ton GKG atau setara dengan 3,51 juta ton beras.

Jadi total keseluruhan dari panen raya bulan Februari-April 2023 dengan luas sawah yang panen 4,05 juta hektar menghasilkan 21,62 juta ton GKG yang setara dengan 12,45 juta ton beras.

Bandingkan dengan produksi beras pada saat pertama kali Indonesia swasembada beras di era pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1984 yang mendapatkan penghargaan dari FAO di Roma Italia.

Dengan luas baku sawah yang produktif 7,66 juta hektar, mampu menghasilkan produksi beras 27,01 juta ton untuk mencukupi perut rakyat Indonesia yang pada waktu itu mencapai 170-an juta.

Kemudian pada swasembada beras kedua di era Presiden Joko Widodo tahun 2021, produksi beras Indonesia tahun 2019 mencapai 31,31 juta ton, tahun 2020 sebanyak 31,50 juta ton, dan tahun 2021 mencapai 31,36 juta ton.

Menurut perhitungan BPS, stok padi di lapangan pada akhir April 2022 sejumlah 10,2 juta ton. Produksi beras Indonesia ini untuk mencukupi kebutuhan penduduk Indonesia yang hingga kini telah meningkat menjadi 270 juta jiwa lebih.

Data dan fakta inilah yang membuat IRRI memberikan penghargaan Indonesia memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan sudah swasembada pangan.

Luas baku sawah dan penyebarannya

Luas baku sawah Indonesia menurut Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019 seluas 7.463.987 ha.

Dari luas baku sawah (2019), Jawa mendominasi (47 persen), disusul Sumatera (24 persen), Sulawesi (13 persen), Kalimantan (10 persen), Nusatenggara-Bali (6 persen), Maluku dan Papua (1 persen).

Jika berdasarkan kualitasnya, maka ada sekitar 2,9 jt ha lahan beririgasi; 3,040 juta ha lahan tadah hujan, dan 1,523 juta ha lahan sawah rawa pasang surut/lebak.

Lahan yang beririgasi, sebagian besar berada di Jawa, memiliki kualitas lebih baik dibandingkan jenis sawah lainnya (tadah hujan dan pasang surut).

Intensitas tanam dapat dilakukan paling tidak dua kali dalam setahun pada lahan beririgasi, sementara pada sawah tadah hujan maupun pasang surut umumnya ditanami sekali setahun.

Bandingkan dengan luas sawah di Vietnam (7,78 jt ha) atau Thailand (8,67 jt ha) tetapi dengan jumlah penduduk yang jauh di bawah kita, yaitu sekitar 97 juta penduduk Vietnam dan 71 juta penduduk Thailand.

Kita punya produtivitas padi yang lumayan bagus (5,4 t/ha), sedikit lebih rendah dibanding Vietnam (5,5 t/ha), tetapi jauh di atas Thailand (2,9 t/ha).

Kita termasuk 4 besar setelah Cina dan India serta Bangladesh dalam memproduksi padi, mengalahkan Vietnam dan Thailand.

Namun sekali lagi, kita juga memiliki jumlah mulut yang jauh lebih besar dibandingkan Vietnam dan Thailand sehingga mereka menjadi langganan kita untuk beli (impor) beras.

Peningkatan produksi beras

Sejak Jokowi memegang kendali pemerintahan di Indonesia, salah satu infrastruktur yang dibangun adalah infrastruktur pertanian.

Tercatat, 29 bendungan sudah diresmikan. Sementara tahun ini, akan selesai lagi 38 bendungan dengan target sampai tahun 2024 lebih dari 61 bendungan.

Membangun 4500 embung, 1,1 juta km jaringan irigasi dan pemanfaatan varietas unggul padi selama tujuh tahun terakhir.

Infrastruktur pertanian berupa bendungan dan jaringan irigasi ini membuka peluang intensifikasi luas baku lahan sawah yang tadinya panen sekali dalam setahun menjadi tiga kali dalam setahun.

Di samping itu dapat memperluas pencetakan sawah baru (ekstensifikasi) sepanjang dapat dijangkau oleh sarana jaringan irigasi yang baru dibangun.

Kemudahan petani mendapatkan pupuk bersubsidi, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), asuransi, kredit usaha rakyat (KUR) pertanian dari pemerintah mendorong petani bergairah melakukan budidaya tanaman padi dan meningkatkan produksinya per hektarnya.

Jika kita menggunakan patokan hasil produksi rata-rata per hektar dengan angka nasional 5,4 ton/ha padi GKG, maka hitungan kotor produksi nasional sekali panen dengan luas baku sawah 7,4 juta ha dapat menghasilkan produksi padi sebesar 39.960.000 ton gabah GKG atau setara dengan 23,09 juta ton beras.

Ditambah dengan sawah baku seluas 2,9 juta ha beririgasi teknis yang mampu panen lebih dari satu kali (2-3 kali) dalam setahun.

Dengan menggunankan sumber daya yang paling optimal, maka sawah beririgasi mampu panen tiga kali dalam setahun.

Dengan patokan angka tersebut maka dari sawah beririgasi teknis seluas 2,9 juta ha akan diperoleh tambahan produksi padi sebesar 31.320.000 ton GKG atau setara dengan 18,10 juta ton beras.

Dengan demikian, potensi produksi kotor padi secara nasional setiap tahun mampu dan dapat mencapai 71.180.000 ton gabah GKG atau setara dengan 41,14 juta ton.

Belum lagi, kalau Indonesia mampu memberdaya budidaya padi lahan kering/gogo rancah (gora) dengan sistem tumpangsari di lahan-lahan tidur yang masih luas di Indonesia.

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejak tahun 2014 pemerintah menggalakkan kegiatan Perhutanan Sosial (PS) sebagai bagian dari program reforma agraria yang memberi akses kepada masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Kegiatan PS ini dapat dimanfaatkan untuk meningkat produksi padi melalui budidaya padi di lahan kering pada lahan-lahan dalam kawasan kegiatan perhutanan sosial.

Dari total target perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar, sampai hari ini realisasinya telah mencapai 5 juta hektar.

Potensinya sungguh sangat besar, dari target luas perhutanan sosial 12,7 juta ha, 50 persennya saja (kurang lebih 6 juta ha) ditanami padi lahan kering dengan sistem tumpangsari akan menghasilkan padi 18 juta ton brutto (asumsi 1 ha menghasilkan 3 ton padi) setiap kali panen.

IPB University meluncurkan varietas padi terbaru, yaitu padi 9G IPB. Ini temuan baru IPB atas padi unggul berupa padi gogo atau padi lahan kering.

Varietas padi IPB 9G memiliki potensi hasil pada lahan darat mencapai 9,09 ton per hektare dengan produktivitas rata-rata 6,09 ton per hektare.

Dengan varietas baru dari IPB ini, hasil brutto padi lahan kering dari lahan perhutanan sosial dapat mencapai 36 juta ton gabah GKG.

Perlu klasterisasi produksi sawah

Untuk memprediksi produksi padi secara nasional agar lebih akurat datanya, maka pemerintah perlu menyusun basis data klasterisasi produksi luas baku sawah berdasarkan patokan produksi rata-rata nasional (5,4 ton/ha) berdasarkan kualitas lahan yang digarap.

Misalnya, klaster sawah baku beririgasi teknis berapa luas dan di mana yang mampu panen dua atau tiga kali setahun. Dari klaster ini dapat dibedakan lagi berapa luas dan dimana yang mampu memproduksi di atas 10 ton/ha, 8-10 ton/ha, 6-8 ton/ha, 5,4-6 ton/ha dan seterusnya.

Demikian halnya, dengan lahan sawah nonirigasi namun mengandalkan teknologi pompa air seperti yang terjadi di Kabupaten Ngawi, Jatim yang mampu menghasilkan rata-rata 8 ton per hektar.

Model pengelolaan sawah nonirigasi teknis seperti di Kab. Ngawi boleh jadi juga telah dilaksanakan di daerah lain di Jawa.

Sentra-sentra produksi padi di luar Jawa juga tidak dapat disepelekan potensinya seperti di Provinsi NAD, Sumbar, Sumsel, Lampung, Sulsel, Bali. Dengan inovasi petaninya dan sarana produksi yang memadai juga mampu berprestasi menghasilkan produksi padi yang tak kalah menggembirakan dibandingkan dengan rekannya petani di P. Jawa.

Dengan adanya data klasterisasi produksi padi secara nasional semacam ini, niscaya dapat membantu pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah setempat untuk dapat mengelola dan mengendalikan potensi produksi padi dengan lebih akurat termasuk di dalamnya membantu petani dalam hal distribusi pemberian subsidi pupuk, pemberian KUR, asuransi pertanian, bantuan alsintan dan penyebaran penyuluh lapangan pertanian yang jumlahnya sekarang dirasakan masih kurang.

Dengan dukungan agroklimat yang memadai, Indonesia mampu mempertahankan swasembada pangan sepanjang tata kelola produksi pangan khususnya padi terus ditingkatkan dan disempurnakan baik ditingkat on farm maupun off farm.

https://money.kompas.com/read/2023/03/15/114604526/perlunya-data-klasterisasi-produksi-padi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke