Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dapatkah Kita Menopang Perekonomian Bebas Pajak?

Meski hadir dengan beragam bentuk dan nama, pemungutan pajak lazimnya memiliki satu tujuan fundamental yang sama: mendanai anggaran publik untuk mendukung jalannya perekonomian secara keseluruhan.

Kendati demikian, kesukarelaan perpajakan bukanlah hal mudah dibentuk dan bahkan masih menjadi postulat yang diperdebatkan keabsahannya.

Pada tahun 2020 saja, rasio pajak Indonesia yang sebesar 10,1 persen produk domestik bruto menjadi yang terendah ketiga di Kawasan Asia-Pasifik, jauh di bawah rata-rata sebesar 19,1 persen.

Meski begitu, perekonomian nasional tampaknya tetap berhasil tumbuh kuat sebesar 5,3 persen tahun 2022, melampaui rata-rata pertumbuhan negara-negara berkembang lainnya sebesar 4,4 persen sebagaimana dilaporkan International Monetary Fund (IMF).

Kekontrasan ini seyogianya menimbulkan pertanyaan besar: seberapa haruskah perpajakan ada dalam perekonomian kita?

Menjamin keberlangsungan anggaran

Menggelorakan pembangunan berarti menjadikan perpajakan sebagai salah satu kebijakan fiskal prioritas. Ini bukanlah tanpa alasan.

Hingga kini, pemungutan pajak masih menjadi jalan terbaik dalam menopang struktur anggaran untuk membiayai belanja pembangunan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, dan kesejahteraan sebagaimana turut dinyatakan Bank Dunia.

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 saja, penerimaan perpajakan masih menjadi sumber pendapatan negara terbesar dengan proporsi 82,1 persen yang naik dari sumbangsih 77,5 persen pada tahun sebelumnya.

Kondisi ini tidak hanya berlaku di Indonesia, melainkan juga hampir di segenap negara lainnya.

Di Singapura, penerimaan perpajakan merupakan kontributor fundamental yang menyumbang sebesar 90,7 persen total pendapatan, lebih tinggi dari 74,7 persen di Thailand, dan 75 persen di Malaysia.

Tanpa perpajakan, kita harus menemukan alternatif yang lebih baik untuk mengganti hilangnya sumber pendapatan negara senilai Rp 2.021,2 triliun.

Jika pengalihan ke pembiayaan utang dipilih, akan timbul lonjakan tajam sebesar 337,8 persen nilai awal defisit tahun 2023, sehingga opsi pembiayaan mestinya menjadi jalan paling akhir (last resort) yang diambil.

Di sisi lain, privatisasi mungkin dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan lebih besar bagi pihak swasta untuk mengelola sektor publik. Namun ini justru akan menimbulkan beban keuangan yang lebih besar bagi masyarakat dibanding ketika harus membayar perpajakan.

Bagaimana dengan negara surga pajak?

Yurisdiksi surga pajak (tax haven), kendati makna yang tersirat dari namanya, tidak benar-benar bebas sepenuhnya dari perpajakan.

Sejumlah tax haven seperti Uni Emirat Arab, Monako, dan Qatar memang tidak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima orang pribadi, namun tetap mempertahankan jenis atau skema pajak lainnya, seperti pajak penghasilan badan dan pajak penjualan.

Lebih lanjut lagi, Swiss yang kerap diakui sebagai pelopor tax haven bahkan tetap memberlakukan pajak atas penghasilan orang pribadi dan serangkaian jenis pajak lainnya, hanya saja dengan tarif yang relatif rendah.

Sejatinya, tidak ada satupun negara yang sungguh-sungguh bebas dari perpajakan sebagaimana turut dilaporkan dalam Basis Data Statistik Pendapatan Global (Global Revenue Statistics Database) OECD.

Pajak masih menjadi cara yang paling praktis untuk mendanai anggaran publik sebagaimana dituturkan dalam artikel terbitan IMF 2001.

Hanya saja, sejumlah negara memberlakukan tarif pajak rendah dan rezim pajak khusus yang membuatnya tampak sebagai surga pajak guna mendorong daya tarik bagi arus investasi asing.

Menghilangkan pajak menumbuhkan kesenjangan

Di sisi lain, ketimpangan juga masih menjadi isu serius dalam perekonomian kita yang 46,6 persen kekayaannya terpusat hanya pada 1 persen penduduk di lapisan teratas sebagaimana ditemukan oleh firma internasional Credit Suisse.

Pemberlakuan pajak progresif, seperti pajak penghasilan dengan tarif berjenjang dan pajak atas penjualan barang mewah, memungkinkan pemerintah untuk mentransfer kekayaan tersebut dengan memungut pajak yang lebih besar dari masyarakat lapisan teratas.

Selanjutnya mendanai pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi 26,36 juta penduduk di bawah garis kemiskinan yang dihadang keterbatasan sumber daya dalam memperoleh standar kehidupan yang layak terlebih lagi memperbaiki kondisi perekonomiannya.

Selain itu, dana perpajakan telah memungkinkan setiap anak untuk memperoleh fasilitas pendidikan dan akses kesehatan yang berkualitas tanpa dibatasi latar belakang sosioekonomi rumah tangga di mana ia terlahir dan tumbuh.

Ini begitu penting dalam menciptakan peluang bagi setiap keluarga untuk meningkatkan standar kehidupannya pada masa mendatang, sebagaimana turut diutarakan dalam kertas kerja yang dipublikasikan IMF 2022.

Pada APBN 2021, dana yang dikumpulkan wajib pajak telah dialokasikan untuk perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan sebesar 13,4 persen, 9,3 persen, dan 3,6 persen secara berturut-turut.

Menghapus perpajakan akan sama artinya dengan menghapus segala kesempatan tersebut yang membuat masyarakat pada lapisan bawah perekonomian semakin termarginalisasi.

Ini justru akan lebih memberikan manfaat bagi korporasi dan rumah tangga berpenghasilan tinggi yang tidak lagi dikenakan pajak sehingga akan semakin memperbesar tingkat kesenjangan.

Oleh karena itu, perpajakan pada hakikatnya merupakan kunci bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah kemiskinan.

Kita cenderung menilai perpajakan sebagai beban yang membuat kita menerima lebih sedikit dari apa yang seharusnya diperoleh dan mengeluarkan lebih banyak dari apa yang seharusnya dibayarkan.

Pada kenyataannya, perpajakan adalah apa yang memungkinkan kita untuk memiliki perekonomian seperti apa yang kita jalani saat ini.

Tidak satupun negara mampu menopang perekonomian yang sungguh bebas dari intervensi perpajakan, kecuali kita memiliki alternatif kebijakan yang lebih baik untuk mendanai perekonomian yang membutuhkan anggaran sedemikian besar.

Oleh sebab itu, jalan keluar terbaik sesungguhnya bukanlah bagaimana kita menghilangkan perpajakan dari perekonomian, melainkan bagaimana kita memanfaatkan dana perpajakan tersebut dengan lebih bijak dan akuntabel.

Dengan demikian, setiap lapisan masyarakat dapat merasakan standar hidup yang sama layaknya dalam perekonomian kita yang terus tumbuh.

https://money.kompas.com/read/2023/05/02/144238626/dapatkah-kita-menopang-perekonomian-bebas-pajak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke