Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menghitung Untung Rugi Insentif Kendaraan Listrik

Insentif diberikan untuk kendaraan listrik yang basis produksinya di dalam negeri, baik jenis kendaraan roda dua (motor) maupun kendaraan roda empat (mobil).

Sebagai langkah awal, pemerintah akan memberikan insentif sebesar Rp 7 juta per unit untuk pembelian 200.000 unit sepeda motor listrik baru dan Rp 7 juta per unit untuk konversi 50.000 unit sepeda motor konvensional berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik.

Total anggaran insentif pembelian EV untuk tahun 2023 mencapai Rp 3,01 triliun yang terdiri dari Rp 1,4 triliun untuk kendaraan roda dua, Rp 1,6 triliun untuk kendaraan roda empat, dan Rp 48 miliar untuk kendaraan jenis bus.

Sedangkan anggaran insentif untuk tahun 2024 mencapai Rp 9,24 triliun yang terdiri dari Rp 4,2 triliun untuk kendaraan roda dua, Rp 4,9 triliun untuk kendaraan roda empat, dan Rp 144 miliar untuk kendaraan jenis bus.

Pemberian insentif diharapkan mampu mendorong akselerasi pengembangan ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di Indonesia.

Lahirnya kebijakan insentif pembelian EV menjadi pertanda dimulainya peralihan sumber energi dan juga teknologi dalam sektor transportasi Indonesia dari yang awalnya berbasis energi fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT).

Pemerintah berusaha untuk mengubah pola perilaku masyarakat dari pengguna energi fosil menjadi energi listrik yang dinilai jauh lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dinamika perdebatan publik

Kebijakan insentif pembelian EV memiliki tujuan sangat baik, namun besarnya insentif di tengah defisit anggaran yang masih menganga lebar telah menciptakan dinamika di tengah pusaran perdebatan opini publik.

Pro dan kontra muncul dari dua kelompok yang bersebarangan terhadap kebijakan insentif EV. Di samping itu, solusi untuk kenaikan penggunaan listrik yang diproduksi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) sebagai akibat meningkatnya penggunaan EV juga belum terjawab dengan sempurna.

Perdebatan dan perang argumentasi menjadi hal yang tidak dapat terhindarkan. Namun hal ini merupakan tahapan yang harus dilalui pemerintah guna menyerap aspirasi publik sekaligus menguji kekuatan argumentasi yang menjadi dasar pembuatan kebijakan insentif pembelian EV.

Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu alergi terhadap berbagai kritik dan saran yang datang tidak tertahan.

Perdebatan harus disikapi sebagai masukan dan kepedulian masyarakat untuk bersama-sama mencari formula tepat dalam menyelesaikan potensi krisis energi yang sudah di depan mata.

Untuk meyakinkan masyarakat luas terkait pemberian insentif, pemerintah harus menjelaskan keuntungan dan kerugian dari kebijakan insentif pembelian EV.

Pemerintah harus memberikan pemahaman yang komprehensif kepada publik bahwa kebijakan ini merupakan salah satu keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan, masyarakat luas, dan nilai-nilai ekonomi yang berkelanjutan secara bersamaan.

Selama keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada insentif yang diberikan, publik akan memahami dan mendukung seluruh kebijakan pemerintah.

Menimbang untung dan rugi

Salah satu yang mendasari kebijakan pemerintah terkait insentif pembelian EV adalah efisiensi energi yang berkelanjutan.

Dengan adanya peralihan sumber energi dari yang berbasis fosil menjadi listrik, akan tercipta penghematan penggunaan energi fosil secara signifikan yang selama ini diyakini tidak efisien dan tidak bersahabat dengan lingkungan dalam jangka panjang.

Selain itu, keuntungan paling signifikan adalah mengurangi tingkat risiko beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang timbul akibat volatilitas harga minyak dunia, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan defisit lifting migas yang semakin besar.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pemerintah harus merombak struktur APBN pada pertengahan tahun 2022 sebagai akibat dari melejitnya harga minyak bumi dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Anggaran subsidi energi naik Rp 74,9 triliun atau 48,8 persen dari pagu yang telah dianggarkan.

Sedangkan dana kompensasi BBM dan Listrik naik dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 293,5 triliun atau naik sekitar 512,7 persen dari pagu anggaran dalam APBN 2022 yang telah ditetapkan.

Perubahan struktur APBN ini dapat berdampak fatal dan meluluhlantahkan semua rencana yang telah ditetapkan.

Beruntungnya, turbulensi ini terjadi di tengah naiknya pendapatan negara sebagai akibat dari melejitnya harga beberapa komoditas dunia sehingga APBN masih dapat berperan sebagai peredam kejut (shock absorber) bagi perekonomian di tengah pandemi Covid-19.

Tidak terbayang jika turbulensi ekonomi pada 2022 tersebut terjadi pada waktu Indonesia tidak memiliki cadangan pendapatan yang cukup memadai. Sudah bisa dipastikan Indonesia akan masuk ke dalam jurang krisis yang sangat dalam.

Keberuntungan ini tidak bisa dipastikan dapat terulang. Sangat mungkin turbulensi ekonomi datang pada waktu yang tidak tepat ketika bangsa dan negara benar-benar tidak siap menghadapinya.

Oleh karena itu, langkah meminimalkan risiko dengan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil menjadi langkah realistis yang patut diapresiasi.

Namun, peralihan energi ini juga harus diperhitungkan dan dilakukan secara cermat. Kenaikan permintaan dan kebutuhan energi listrik akibat konversi energi menjadi masalah tersendiri yang sampai saat ini belum terurai dengan baik.

Menurut catatan pemerintah, konversi ke EV akan meningkatkan permintaan listrik sebesar 15,2 giga watt per hour. Sejauh ini PT. PLN belum bisa menjelaskan bagaimana cara memenuhi peningkatan permintaan listrik tersebut.

Masalah ini semakin pelik karena lebih dari 80 persen pembangkit listrik milik PT. PLN masih menggunakan mesin diesel yang menggunakan solar sebagai bahan bakarnya.

Jika ini yang terjadi, maka sejatinya konversi bahan bakar tersebut tidak pernah terjadi, hanya perpindahan dan penghematan konsumsi energi untuk kendaraan bermotor semata.

Oleh karena itu, ke depannya pemerintah harus benar-benar dapat menciptakan ekosistem KBLBB secara komprehensif yang dapat menciptakan penggunaan EBT sehingga dapat menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Konversi energi dari energi fosil ke EBT mutlak diperlukan. Namun konversi tersebut tidak boleh hanya sekadar program formalitas guna menciptakan image positif pemerintah semata.

Program konversi energi tidak boleh menciptakan masalah baru yang dapat menghambat program pembangunan ekonomi nasional.

Sebaliknya, konversi energi harus menjadi program yang dapat mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan dalam waktu bersamaan bersahabat dengan alam.

https://money.kompas.com/read/2023/05/03/060027426/menghitung-untung-rugi-insentif-kendaraan-listrik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke