Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masyarakat Perlu Mewaspadai Perusahaan yang Mengeklaim Ramah Lingkungan dengan Menerapkan Greenwashing

KOMPAS.com – World Population Review 2021 menyebut Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sampah plastik di lautan terbesar di dunia setelah Filipina, India, Malaysia, dan China.

Ironisnya, perbandingan jumlah penduduk dan sampah plastik yang dihasilkan Indonesia lebih besar ketimbang China.

Dengan penduduk sekitar 275 juta jiwa pada 2021, Indonesia menghasilkan sampah plastik di lautan hingga 56.333 ton. Di sisi lain, China dengan populasi penduduk lebih dari satu miliar jiwa, menyumbang 70.707 ton sampah plastik ke lautan.

Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun. Adapun 5 persen atau 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik.

Dari angka tersebut, produk air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek menyumbang 226.000 ton atau 7,06 persen timbulan.

Sementara itu, sebanyak 46.000 ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah sampah gelas plastik.

Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) serta anggota Dewan Pengarah dan Pertimbangan Persampahan Nasional Saut Marpaung menilai, dalam operasional sehari-bari, sampah plastik kemasan kecil tidak memiliki nilai bagi industri daur ulang.

“Oleh sebab itu, material tersebut menjadi persoalan sampah sesungguhnya. Sebab, (sampah itu) mudah tercecer dan menambah timbulan sampah,” ujar Saut dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (18/5/2023).

Sementara itu, pegiat lingkungan dari organisasi Net Zero Waste Consortium Ahmad Safrudin mengatakan, reputasi Indonesia terpuruk di mata dunia akibat sampah kemasan saset, gelas, sedotan, serta botol plastik bekas AMDK yang dibuang di darat, sungai, dan laut.

“Industri seolah merasa tak berdosa menggunakan produk plastik. Bahkan, mereka melakukan praktik greenwashing,” ujar Ahmad.

Dilansir dari Earth.org, greenwashing dinilai sekadar konsep pemasaran untuk menghemat pengeluaran perusahaan atau dengan kata lain menambah profit. Perusahaan yang memasarkan diri mereka sebagai industri "ramah lingkungan" menggunakan metode tersebut tidak benar-benar meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dari seluruh aktivitas terkait operasional bisnis mereka.

Lebih lanjut, greenwashing dinilai sebagai metode pemasaran yang "menipu" untuk mendapatkan dukungan konsumen terhadap bisnis mereka ketimbang mengajak konsumen untuk peduli terhadap lingkungan.

Istilah "greenwashing" sendiri dipopulerkan oleh ahli lingkungan Jay Westerveld dalam sebuah esai (1986). Lewat esai itu, dia mengkritik gerakan "menghemat handuk" yang dilakukan industri perhotelan.

Westerveld memperhatikan banyak limbah yang dia temukan di seluruh hotel yang menerapkan greenwashing. Bahkan, tidak ada tanda-tanda upaya yang dilakukan pihak hotel untuk menjadi lebih ramah lingkungan. Menurut dia, hotel hanya mencoba untuk mengurangi biaya dengan tidak harus mencuci handuk terlalu banyak, tetapi mencoba memasarkan hal itu sebagai upaya ramah lingkungan.

Mewaspadai praktik greenwashing di Indonesia

Kampanye greenwashing juga banyak digaungkan oleh beragam perusahaan di Indonesia. Tak hanya sektor perhotelan, masyarakat harus jeli terhadap perusahaan AMDK sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar yang turut mempraktikkannya.

“Kampanye greenwashing yang dilakukan, khususnya oleh produsen AMDK, membuat timbulan sampah semakin tak pernah selesai. Tak hanya berceceran di jalan, tapi juga menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA), bahkan mengendap di lautan,” jelas Ahmad.

Agar tak mudah dikelabui, masyarakat harus mengenali lima jenis praktik greenwashing yang biasa diiklankan oleh produsen secara umum. Pertama, membangun citra ramah lingkungan. Pada praktik ini, produsen menggunakan produk yang menggunakan gambar, ilustrasi, atau foto dedaunan dan hewan. Mereka juga mengeklaim penggunaan kemasan ramah lingkungan.

Kedua, menggunakan label yang menyesatkan. Hal ini dilakukan dengan menyematkan label “Sudah Disertifikasi”, “100% Organik”, dan sebagainya pada produk mereka. Di sisi lain, mereka tidak menambahkan informasi pendukung untuk membuktikan klaim tersebut.

Ketiga, pertukaran yang tak terlihat. Produsen bisa bertindak seolah-olah menerapkan prinsip ramah lingkungan dan kebijakan berkelanjutan. Nyatanya, terjadi pertukaran tak ramah lingkungan yang sengaja disembunyikan dari publik.

Sebagai contoh, saat ini, tengah gencar iklan AMDK yang mengeklaim tidak menyampah. Padahal, publik tidak melihat secara langsung sampah plastik yang dihasilkan bertebaran di TPA, sungai, dan laut.

Keempat, tidak memberikan informasi apa pun terkait produk. Industri penyumbang sampah plastik, termasuk produsen AMDK, kerap tidak memberikan informasi menyeluruh tentang kandungan kimiawi berbahaya yang terdapat pada produk mereka.

Kelima, berbuat seolah jujur, tapi tetap berbahaya. Praktik ini dilakukan produsen yang mengeklaim jujur, tetapi tetap memproduksi produk berbahaya bagi manusia atau lingkungan. Sebagai contoh, produsen rokok organik.

Berbicara soal greenwashing, perusahaan survei marketing Terrachoice Environmental Marketing mengatakan, sebanyak 98 persen produk diiklankan dengan tidak jujur dan menyesatkan konsumen.

Praktik greenwashing justru menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan sama sekali tidak bermanfaat bagi lingkungan.

https://money.kompas.com/read/2023/05/22/120700626/masyarakat-perlu-mewaspadai-perusahaan-yang-mengeklaim-ramah-lingkungan-dengan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke