Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Katalis Revolusi Startup Indonesia

Namun demikian, ekosistem startup Indonesia yang telah berkembang pesat selama satu dekade terakhir telah sukses menciptakan ruang inovasi teknologi, yang terbukti dari eksistensi unicorn dan pertumbuhan berbagai startup ternama di dalam negeri.

Dalam artikel ini, kami menggarisbawahi peran penting para founder yang menjadi pemimpin dari inovasi teknologi di Indonesia, tahun 2023 dan seterusnya.

Vertex Ventures Southeast Asia & India (VVSEAI) pertama kali mulai berinvestasi di Indonesia hampir satu dekade lalu.

Seiring berjalannya waktu, kami telah menyaksikan pencapaian luar biasa dalam ekosistem startup Indonesia yang sedang booming. Berikut adalah beberapa di antaranya:

Pasar konsumen terbesar di Asia Tenggara, dengan daya beli yang meningkat. Indonesia mencatatkan GDP sebesar 1,05 triliun dollar AS dan merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke-15 di dunia dengan GDP per kapita sebesar 4.308 dollar AS.

Indonesia memiliki 270 juta penduduk, sehingga menawarkan kesempatan besar bagi startup untuk penetrasi pasar yang lebih luas.

Meningkatnya populasi konsumen digital. Penetrasi smartphone di Indonesia mencapai 83 persen, dan diproyeksikan naik ke 88,7 persen pada tahun 2026 (Sumber: Statista).

Sementara itu, penetrasi internet mencapai 75,47 persen diproyeksikan meningkat ke 82,53 persen pada 2026.

Indonesia juga memiliki 191 juta pengguna media sosial aktif. Dengan angka tersebut, ekonomi digital Indonesia menjadi benteng bagi startup yang ingin berkembang pesat.

Sektor teknologi layanan digital yang kian berkembang. Nilai Gross Merchandise Value (GMV) dari ekonomi berbasis internet di Indonesia diperkirakan akan mencapai 133 miliar dollar AS pada 2025, menurut perkiraan Google, Temasek, dan Bain.

Faktor ekonomi, politik, dan dinamika pasar turut mendukung pertumbuhan startup Indonesia – namun, inti dari revolusi digital ini adalah tenaga manusia dan talenta startup yang telah sukses mengeksekusi visi bisnis mereka.

Gelombang pertama “SEA Turtles”

Talenta Indonesia yang kembali dari luar negeri telah memainkan peran penting dalam merintis lanskap startup dalam negeri.

Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek, berkuliah di Brown University dan bekerja di McKinsey Jakarta sebelum kuliah di Harvard Business School pada 2009.

Pendiri startup seperti Nadiem Makarim (Go-Jek) dan Ryu Kawano Suliawan (Midtrans) percaya bahwa pengalaman mereka selama di luar negeri sangatlah transformatif.

Mereka banyak mengambil inspirasi dari para pengusaha yang membangun startup dari nol di Amerika Serikat, yang pada 2009 telah memiliki ekosistem VC yang telah jauh lebih matang.

Modal sosial dari program global seperti Harvard Business School juga punya peran penting bagi para founders. Nadiem dan Ryu adalah teman seangkatan selama berkuliah di Harvard, dan mereka akhirnya bekerja sama setelah Go-Jek mengakuisisi MidTrans pada 2017.

Nadiem dan Ryu adalah contoh dari ‘SEA Turtles' – istilah yang digunakan untuk menyebut orang Asia Tenggara yang kembali ke negara mereka setelah belajar atau bekerja di luar negeri.

Istilah ini berasal dari ungkapan Tionghoa tahun 2000-an untuk orang-orang yang kembali ke negara asal setelah mengenyam pendidikan di luar negeri.

Kehadiran ‘SEA Turtles’ – atau dalam hal ini ‘Indonesian Turtles’ – banyak mengambil hati para startup maupun kapital ventura, terutama karena value yang mereka miliki sangat tinggi.

Oleh karena itu, Go-Jek dan Bukalapak secara aktif merekrut talenta terbaik Indonesia dari sekolah-sekolah di AS, sementara Intudo Ventures mengadakan Pulkam SEA Turtle Fellowship untuk mendukung para migran Indonesia yang kembali dengan visi bisnis mereka.

Gelombang kedua: Dampak alumni startup di Indonesia

Alumni startup yang sudah sukses kerap kali memulai proyek bisnis mereka sendiri di sektor yang sama, yakni teknologi.

Misalnya, alumni pekerja PayPal telah sukses meluncurkan bisnis mereka sendiri, seperti Elon Musk (Tesla, SpaceX), Peter Thiel (Palantir, Valar Ventures) dan Steven Chen (YouTube).

Demikian pula di Indonesia, banyak dijumpai gelombang kedua founder startup di Indonesia yang dipimpin oleh mantan karyawan Go-Jek, baik di sektor Property Tech, Edtech, Fintech, dan bahkan HealthTech.

Ada beberapa alasan yang memungkinkan fenomena 'alumni' berkembang pesat, seperti:

1. Waktu dan kesempatan

Ketika startup seperti Go-Jek telah mencapai status unicorn, perusahaan harus bertransisi dari pertumbuhan bisnis yang dikomandoi oleh founders, menuju pertumbuhan masa depan yang dipimpin oleh tim penerus.

Saat para founder keluar dari perusahaan, karyawan melihat hal tersebut sebagai momen perubahan karier untuk membuat sesuatu yang baru di luar sana.

Dayu Dara Permata, misalnya, beralih dari Senior VP GoJek menjadi founder Proptech, dan mengembangkan bisnisnya hingga valuasi pasca-Seri-B sebesar 225 juta dollar AS.

CTO PropTech, Ahmed Aljunied, menjelaskan bagaimana GoJek dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap anak perusahaan untuk beroperasi seperti startup tersendiri.

Tiap anak perusahaan harus mempresentasikan rencana pengembangan bisnis kepada pimpinan senior dan menggalang dana untuk pengembangan produk dan berbagai proyek bisnisnya sendiri.

2. Kemitraan startup-investor

Biasanya, investor memiliki koneksi yang kuat dengan tim founder dan manajemen dari startup yang ada di portofolio mereka.

Ketika salah satu tim manajemen mengungkapkan ketertarikan untuk meninggalkan startup dan memulai usaha mereka sendiri, investor sering kali tetap menjaga hubungan baik atau bahkan bermitra dengan mereka.

Dampak networking ini sangat penting untuk menumbuhkan fenomena 'alumni startup' di Indonesia.

3. Kesempatan untuk belajar

Ini mungkin menjadi faktor terpenting, di mana alumni menggambarkan perusahaan unicorn tempat mereka bekerja sebagai “laboratorium kewirausahaan” – yang membekali mereka dengan cara membangun network, budaya perusahaan, hingga sistem operasional profesional dan terstruktur pada tahap awal memulai sebuah startup.

Menggabungkan keahlian lokal dengan pengalaman global

SEA Turtles dan mantan karyawan alumni unicorn merupakan faktor penting bagi berkembangnya ekosistem teknologi di Indonesia.

Namun, terlepas dari hal tersebut, masih banyak founder lokal di Indonesia yang memanfaatkan pengalaman serta pengetahuan luas mereka untuk meningkatkan penetrasi produk digitalnya.

Salah satunya adalah Pintarnya, startup lokal yang didirikan oleh Nelly Nurmalasari (ex-Traveloka), Henry Hendrawan (ex-Traveloka), dan Ghirish Pokardas (ex-KKR).

Pintarnya membantu kelas pekerja Indonesia untuk menemukan pekerjaan yang lebih baik dan mengakses layanan keuangan.

Sejauh ini, mereka telah menghubungkan lebih dari 6.000 pemberi kerja dengan lebih dari 100.000 pencari kerja sejak diluncurkan pada Mei 2022.

Tim Pintarnya terinspirasi dari pengalaman Nelly sebagai pemilik salon rambut, di mana ia sering mengalami kesulitan dalam menemukan pekerja yang cocok.

Sementara di sisi lain, banyak pula karyawan Nelly yang kesulitan dalam mengajukan pinjaman dan mengakses produk finansial karena tidak memiliki rekam jejak pendapatan yang stabil.

Pengalaman nyata dari Nelly sangat berguna dalam memperkuat visi dan langkah eksekusi Pintarnya, yaitu menciptakan platform digital berupa aplikasi all-in-one untuk mengakses lowongan pekerjaan profesional dan layanan keuangan.

Pintarnya hanyalah salah satu contoh dari generasi alumni startup yang berhasil menggabungkan wawasan lokal dengan eksposur global untuk membentuk tim yang kuat yang dapat mengeksekusi visi mereka di Indonesia.

Selain Pintarnya, VVSEAI juga berinvestasi di Tiptip yang didirikan oleh Albert Lucius yang sebelumnya memulai Kudo (diakuisisi oleh Grab) di Indonesia dan di Cosmart yang didirikan oleh Alvin Kumarga yang merupakan alumni Traveloka.

Ke depannya, VVSEAI terus berkomitmen untuk mendukung tim yang memiliki koneksi kuat terhadap pasar lokal Indonesia, serta mendukung gelombang talenta berikutnya, baik yang berasal dari Indonesia maupun SEA Turtles.

Ekosistem angel investment 

Kesuksesan startup Indonesia telah menghasilkan ekosistem investor yang terdiri dari para founder ‘senior’ yang ingin berinvestasi kembali di startup-startup baru dan membimbing para founder muda.

Salah satu pemain utamanya adalah ANGIN, yaitu network angel investor yang berfokus pada startup tahap awal dengan nilai investasi rata-rata 50.000 dollar AS hingga 500.000 dollar AS untuk putaran yang lebih besar.

Beberapa angel investor lainnya adalah mantan karyawan dari perusahaan teknologi seperti GoTo (Aldi Haryopratomo. Andre Soelistyo, Kevin Aluwi, Rama Notowidigdo), Bukalapak (Achmad Zaky), Fazz Financial (Hendra Kwik), Xendit (Moses Lo), Koinworks (Willy Arifin), serta Pandu Sjahrir, Arya Setiadharma, dan Jerry Ng.

Ekosistem angel investment yang sedang berkembang di Indonesia merupakan bukti dari kancah startup yang berkembang pesat di negara ini dan banyak pengusaha sukses yang menunjukkan dukungan penuh dengan berinvestasi pada generasi founder berikutnya.

Dengan semakin banyaknya modal dan keahlian yang mengalir ke lanskap investasi tahap awal, startup Indonesia dapat menerima lebih banyak dukungan dan bimbingan dari investor berpengalaman, sehingga pada akhirnya membuka jalan bagi inovasi dan pertumbuhan yang lebih besar di masa depan.

https://money.kompas.com/read/2023/06/08/090000726/katalis-revolusi-startup-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke