Ketua Bidang Maritim, Kelautan, dan Perikanan Badan Pengurus Pusat Hipmi, Fathul Nugroho mengatakan, pihaknya mendukung sikap tegas pemerintah yang menolak rekomendasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) untuk menghapus kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
"Kebijakan hilirisasi sudah berjalan dengan baik. Terutama di sektor mineral, kebijakan tersebut berhasil meningkatkan investasi dan nilai tambah ekspor hasil pengolahan mineral," ujar Fathul dalam keterangannya, Sabtu (1/7/2023).
Fathul mengatakan, kebijakan hilirasi yang digalakkan pemerintahan Jokowi dapat mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terjaga di kisaran 5 persen pasca pandemi.
Menurutnya, kinerja ekonomi yang positif seiring dengan penerapan kebijakan larangan ekspor bahan mentah tambang itu, telah membuat adanya pihak asing yang terkesan kurang suka dengan langkah yang diambil Indonesia.
Meski begitu, Fathul menyarankan pemerintah untuk tetap pada pendiriannya dan tak terpengaruh dengan pandangan pihak asing.
Ia pun mendukung langkah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang akan bertemu dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva guna menjelaskan tujuan Indonesia tak lagi ekspor bijih nikel.
"Pemerintah harus berani dan siap menghadapi pihak luar negeri yang kontra kebijakan tersebut, termasuk IMF," sarannya.
Menurut Fathul, lembaga sekaliber IMF seharusnya objektif dalam menghitung cost and benefit analysis dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi Indonesia, tidak hanya mempertimbangkan dampaknya terhadap negara lain.
Lantaran, selama ini telah terjadi defisit neraca perdagangan yang cukup besar antara Indonesia dan negara pengimpor nikel, khususnya China. Maka melalui kebijakan hilirisasi, neraca perdagangan Indonesia dengan China kini tercatat surplus.
Nilai ekspor produk nikel hasil olahan di dalam negeri bahkan tercatat mencapai 30 miliar dollar AS di 2022, melonjak dibandingkan nilai ekspor pada 2017-2018 yang masih berbentuk barang mentah sebesar 3,3 miliar dollar AS.
Lebih lanjut, Fathul bahkan menilai, pemerintah perlu memperluas kebijakan hilirisasi ke sektor lainnya, khususnya kelautan dan perikanan. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas lautan dan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
"Apabila hasil laut dan perikanan dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, maka diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan nilai ekspor hingga berkali lipat, seperti di komoditas nikel," ungkap dia.
Sebelumnya, melalui dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, lembaga itu meminta pemerintah RI untuk mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Dalam dokumen itu disebutkan, Direktur Eksekutif IMF menyadari, Indonesia tengah fokus melakukan hilirisasi pada berbagai komoditas mentah seperti nikel. Langkah ini dinilai selaras dengan ambisi Tanah Air untuk menciptakan nilai tambah pada komoditas ekspor.
"Menarik investasi asing langsung dan memfasilitasi transfer keahlian dan teknologi," tulis dokumen tersebut, dikutip Selasa (27/6/2023).
Akan tetapi, Direktur Eksekutif IMF memberikan catatan, kebijakan itu harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kebijakan tersebut juga harus dibentuk dengan tetap meminimalisir dampak efek rembetan ke wilayah lain.
"Terkait dengan hal tersebut, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tulis dokumen IMF.
https://money.kompas.com/read/2023/07/01/202100126/soal-imf-minta-ri-hapus-larangan-ekspor-nikel-hipmi--kebijakan-hilirisasi