Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menimbang Wacana Bank Koperasi dari Menteri Teten

Menurut beliau, sejak 2020 lalu, LPDB sudah fokus memperkuat pembiayaan koperasi, mempermudah akses layanan, dan beroperasi seperti venture like business (capital ventura).

Best practice "venture like business" dari PPDB telah diterapkan melalui "pre-financing model" untuk penguatan program ketahanan pangan melalui koperasi.

“Dengan pendekatan ini LPDB melakukan penguatan pembiayaan kepada koperasi hingga mengubah fungsi koperasi menjadi offtaker bagi anggota koperasi, sehingga terbentuk ekosistem yang berkelanjutan," kata Menteri Teten dalam acara Rapat Koordinasi BLU Tahun 2023 di Jakarta, Kamis (2/3).

Karena itulah, menurut beliau, LPDB saat ini didorong sebagai bank koperasi yang akan fokus mendukung keberlanjutan bisnis koperasi sektor riil untuk naik kelas.

Dengan penyaluran 100 persen kepada koperasi, lalu jumlah jangkauan layanan kepada 400.000 lebih UMKM yang dilayani, ditambah dengan peningkatan coverage layanan sebesar 58 persen, maka ide bank koperasi tersebut dianggap sudah layak didorong untuk terwujud.

Namun, mengingat wacana tersebut sangat prematur, maka beberapa hal harus menjadi pertimbangan penting oleh Menteri Koperasi dan UKM dalam mendorong terbentuknya bank koperasi dari Badan Layanan Usaha (BLU) di bawah Kemenkop UKM tersebut.

Pertama, dari penamaannya saja LPDB-KUMKM jelas-jelas dana bergulir, bukan dana investasi komersial murni.

Dana bergulir utamanya ditujukan meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Caranya dengan memberikan suku bunga yang lebih murah dibandingkan lembaga keuangan komersial atau memberikan pinjaman tanpa disertai agunan (untuk pembiayaan kelompok).

Nah, jika dana bergulir berubah menjadi dana yang dikelola oleh perbankan, seperti bank koperasi, maka sifatnya dananya tidak lagi sebagai dana bergulir dengan tujuan murni untuk kepentingan publik (kepentingan UMKM dan koperasi), alias berubah menjadi modal komersial.

Karena sifatnya berubah menjadi komersial, maka suku bunga yang diterapkan tidak bisa lagi di bawah suku bunga pasar. Artinya, suku bunga dari bank koperasi nantinya harus selalu berada di atas suku bunga acuan Bank Indonesia.

Tak pelak, aturan main baru suku bunga tersebut akan sangat membebani koperasi dan UMKM. Alih-alih koperasi akan naik kelas, justru akan tambah sulit karena pertambahan beban bunga.

Kedua, sebagaimana sifat dan orientasi BLU, BLU di Kemenkop UKM juga dimaksudkan sebagai instrumen bagi pemerintah, dalam hal ini Kemenkop UKM, untuk mengintervensi dunia perkoperasian agar memperbaiki dan memperkuat peran koperasi dalam sistem perekonomian nasional.

Orientasinya bukan profit dan posisinya sebagai bagian dari kebijakan publik, bukan kebijakan korporasi dan bisnis.

Jika BLU tersebut berubah menjadi bank koperasi, maka posisi dan statusnya diperkirakan akan seperti BUMN perbankan.

Merujuk pada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, keberadaan BUMN diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

Dengan kata lain, BUMN di satu sisi wajib menjalankan penugasan negara dan di sisi lain juga wajib mengelola bisnis dengan benar untuk meraih keuntungan.

Jadi jika BLU tersebut didorong menjadi bank, maka bank baru tersebut akan berperan seperti bank-bank BUMN yang kini ada, misalnya BRI, Mandiri, atau BNI.

Walhasil, layaknya ketiga bank BUMN tersebut, profesionalisme dan profit akan ada di daftar target utama operasionalnya, karena dana yang mereka kelola bersifat komersial.

Ketiga, target pasarnya masih sangat kecil di satu sisi dan akan bersaing dengan bank-bank di bawah BUMN yang sudah ada di sisi lain.

Sebagaimana data yang disebutkan Menkop UKM di atas, BLU LPDB melayani sekitar 400.000 koperasi. Sementara penguasaan pasarnya sampai Desember 2022 sekitar 28 persen.

Total outstanding kredit kepada koperasi oleh perbankan (bank umum & BPR/S) sebesar Rp 14,3 triliun. Outstanding dana bergulir LPDB sebesar Rp 4,1 triliun atau berkontribusi setara dengan 28 persen penyaluran kredit kepada koperasi dari total Rp 14,3 triliun.

Artinya, pasar pembiayaan untuk koperasi masih sangat kecil, hanya Rp 14 triliun. Jika itu harus dibelah lagi untuk bank baru seperti bank koperasi, maka akan membuat bank baru tersebut menjadi kurang "feasible" secara bisnis.

Kemudian, bank baru tersebut harus bersaing dengan bank BUMN yang selama ini sudah berkinerja baik dalam pembiayaan UMKM, yakni Bank Rakyat Indonesia.

Keempat, agak sulit mencari preseden dan referensi bank koperasi, jika ingin diterapkan di sini. Di China dikenal Rural Credit Cooperative (RCC) tahun 1980-1990-an, sebagai lembaga pembiayaan Town and Village Enterprises (TVEs), institusi ekonomi pengganti People Commune dan Brigade Enterprise warisan rezim Mao.

Lembaga pembiayaan tersebut diberi bantuan modal oleh pemerintah pusat dan daerah untuk membantu People Commune dan Brigade Enterprise yang berorientasi kolektif menjadi Town and Village Enterprises yang berorientasi komersial pada era awal liberalisasi ekonomi China.

Namun bentuknya bukan lembaga perbankan, tapi koperasi, dan sifat organisasinya tidak terpusat seperti perbankan, tapi per daerah dan wilayah.

Bahkan hari ini di China, operasi RCC sudah nyaris tak ada lagi. Pembiayaan dari perbankan untuk usaha kecil dan menengah, termasuk koperasi, lebih banyak dilakukan oleh Bank Pertanian China (Agricultural Bank of China/ABC), satu dari empat bank BUMN raksasa China.

Padanannya di sini adalah Bank Rakyat Indonesia. Dan pembiayaan non perbankan dilakukan oleh fintech dan shadow banking, seperti Ant Financial dari Alibaba, misalnya.

Kelima, untuk bank, koperasi adalah pasar yang terlalu segmented atau terlalu terkonsentrasi di satu segment pasar. Karena itu, akan sangat berbahaya bagi suatu bank, terutama dalam keadaan ekonomi sedang kurang bergairah.

Pengalaman penutupan beberapa bank di Amerika baru-baru ini (Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, Silvergate Bank dan First Republic Bank) layak dijadikan pelajaran berharga.

Kesamaan antara Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan Silvergate Bank adalah pasarnya sama-sama sangat segmented and captive.

SVB menguasai pasar start up dan tech company di Silicon Valley. Signature dan Silvergate menjadi bank untuk perusahaan crypto currency.

First Republic Bank (FRB) yang diselamatkan sebelas bank besar secara keroyokan dengan nominal 30 miliar dollar AS pun memiliki pasar sangat segmented, mayoritas kliennya adalah perusahaan (corporate client).

Jadi menjadikan koperasi sebagai pasar utama bukanlah pilihan potensial untuk mendirikan bank, apalagi bank BUMN. Secara perbankan, koperasi sebaiknya menjadi salah satu pasar saja dari pasar perbankan pada umumnya, seperti bank umum, bank daerah, dan BPR.

Pendeknya, wacana mendirikan bank koperasi dari BLU yang ada di Kementerian Koperasi dan UKM oleh Menteri Koperasi dan UKM, jika memang benar-benar serius, sebaiknya dipelajari secara matang, komprehensif dan mendalam dulu.

Pasalnya, dari berbagai pertimbangan di atas, rasanya tidak terlalu cocok BLU di Kementerian Koperasi dan UKM diubah menjadi bank koperasi. Selain tidak sesuai dengan niat awal dari BLU, perubahan tersebut juga tidak memiliki landasan komersial yang kuat.

Jalan terbaik sebenarnya adalah terus memperkuat kinerja BLU tersebut, di mana tugas utamanya secara keuangan adalah membuat koperasi-koperasi dan UMKM-UMKM menjadi "bankable".

Setelah koperasi dan UMKM mendapat status "bankable", maka biarkan perbankan konvensional yang akan melanjutkan misi untuk membuat mereka menjadi lebih besar dan tangguh.

Artinya, BLU tersebut harus fokus mendorong dan melahirkan koperasi dan UMKM baru yang "bankable", agar semakin banyak koperasi dan UMKM yang naik kelas dan berstatus "layak kredit" sebagaimana standar profesional yang diterapkan oleh perbankan konvensional.

https://money.kompas.com/read/2023/09/06/120105726/menimbang-wacana-bank-koperasi-dari-menteri-teten

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke