Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kebangkitan Semu Industri Penerbangan Indonesia

Begitu pula jumlah pesawat dan jumlah pegawai maskapai serta bandara dan groundhandling juga berkurang sangat signifikan karena dirumahkan atau bahkan dikeluarkan.

Tidak ada aktivitas ekonomi yang menguntungkan, bahkan merugikan selama lebih dua tahun. Wajar kalau perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerja dan alat produksinya.

Saat ini, setelah pemerintah resmi menyatakan pandemi Covid-19 berakhir dan orang bebas berkegiatan dan berkumpul lagi, industri penerbangan dikatakan kembali bangkit.

Bangkitnya industri ini dinyatakan dengan semakin meningkatnya jumlah penumpang pesawat yang hampir mendekati jumlah penumpang sebelum pandemi.

Data dari Kementerian Perhubungan, recovery rate jumlah penumpang pesawat domestik pada semester pertama 2023 dibanding 2019 sudah mencapai lebih dari 80 persen. Sedangkan penumpang internasional, recovery rate lebih dari 70 persen.

Pada 2024 mendatang, diperkirakan jumlah penumpang sudah lebih dari jumlah penumpang sebelum pandemi.

Namun benarkah dengan jumlah penumpang yang terus bertambah berarti industri penerbangan nasional terutama penerbangan berjadwal sudah bangkit kembali?

Pengulangan sejarah

Memakai indikator jumlah penumpang untuk menyatakan bangkitnya atau sehat dan tidaknya industri penerbangan, seperti mengulang sejarah.

Sejak dibuka liberalisasi pendirian maskapai penerbangan pada 2000 sampai 2018, jumlah penumpang terus meningkat.

Jika sebelum 2000 jumlah penumpang domestik dan internasional hanya 30 juta, pada 2018 jumlahnya meningkat menjadi 138 juta.

Jumlah maskapai juga meningkat. Pada periode 2000-2018, jumlah maskapai berjadwal penumpang dan kargo mencapai 27 perusahaan. Namun tidak semuanya sehat sehingga pada akhir 2018, jumlahnya tinggal 15 maskapai.

Pada 2018, hampir semua keuangan maskapai morat-marit. Sehingga untuk menyelamatkan perusahaan, mereka menaikkan harga tiket. Akibatnya jumlah penumpang turun, namun maskapai bisa bernapas lega kembali.

Sayangnya, pemerintah mengintervensi, meminta maskapai menurunkan harga tiket sehingga jumlah penumpang naik, tanpa memperhitungkan kondisi maskapai tersebut.

Industri penerbangan sebagai industri jasa, berbeda dengan industri lain terutama industri nonjasa.

Sehingga kalau hanya menggunakan indikator jumlah penumpang atau jumlah produksi yang terbeli oleh masyarakat, seperti halnya retail, sebagai indikator sehat dan tidaknya industri ini bisa tidak tepat.

Ada beberapa contoh yang membedakan industri penerbangan dengan industri lainnya.
Misalnya, terkait harga jual produk.

Di industri lain, harga jual produk ditentukan setelah proses produksi selesai dan biaya-biaya bisa dihitung. Bisa juga harga diperhitungkan di depan, dengan asumsi proses produksi yang stabil. Dengan demikian, harga jualnya juga relatif sama untuk satu produk.

Penerbangan berbeda, karena harga jual produknya semua ditentukan berdasarkan estimasi. Penumpang membayar produk yang belum ada dan diperolehnya. Setelah membayar, baru produknya dibuat dan penumpang dapat menikmati.

Produsen atau maskapai tidak bisa meminta bayaran lebih pada penumpang jika ternyata biaya produksinya lebih besar dari harga yang dibayar penumpang.

Biaya berlebih bisa terjadi, misalnya, terjadi antrean yang panjang di bandara saat akan take off atau landing. Atau ada kondisi tertentu seperti cuaca buruk, kecelakaan, dan lainnya sehingga pesawat tidak bisa landing di bandara tujuan dan harus mendarat di bandara alternatif atau balik ke bandara awal.

Kejadian ini akan membuat pesawat membakar BBM lebih banyak dan tentu saja biaya lebih besar.

Di sisi lain, penumpang bisa mendapat kompensasi lebih jika layanan yang didapat tidak sesuai, seperti pesawat terlambat (delay), barang rusak atau hilang, dan sebagainya.

Produk "perishable"

Jasa penerbangan juga bisa dikategorikan sebagai produk perishable. Hitung-hitungan untung rugi pada dasarnya adalah pada satu kali operasional penerbangan.

Jika dalam satu penerbangan itu jumlah pendapatan lebih kecil dari jumlah biaya operasional, maka tentu saja rugi.

Pendapatan dari operasional pesawat didapat dari jumlah penumpang dikalikan harga tiket. Bisa juga ditambah dari pendapatan angkutan kargo, iklan, penjualan produk sampingan di atas pesawat dan lainnya.

Jadi jika tidak mau rugi, maka harga tiket akan disesuaikan dengan jumlah penumpang yang diangkut.

Namun kembali lagi bahwa tiket pesawat bersifat perishable. Tiket harus terjual sebelum penerbangan dilakukan.

Dengan demikian, waktu penjualan sangat terbatas. Jika tidak terjual, maka pendapatan akan kosong. Untuk itu maskapai akan sekuat tenaga menjual tiket.

Jika jumlah penumpang banyak dan persaingan sedikit, secara teori tentu lebih mudah menjual tiket. Namun jika penumpang terbatas dan terdapat persaingan ketat, tentu penjualan tiket juga lebih sulit, tergantung pintar-pintarnya maskapai tersebut.

Maskapai memang bisa memakai akumulasi atau subsidi silang rute yang rugi dengan rute menguntungkan. Atau melakukan efisiensi pada proses kerjanya.

Namun pada akhirnya, maskapai juga akan kembali pada akarnya, sehingga akan menutup rute-rute yang tidak menguntungkan dan mengalihkan pesawatnya ke rute menguntungkan.

Pengaturan pemerintah

Satu contoh lagi yang membedakan industri penerbangan dengan industri lainnya adalah adanya pengaturan tarif tiket oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan.

Tarif ini merupakan komponen terbesar dari harga tiket, sehingga bisa dikatakan tarif adalah harga tiket itu sendiri sebelum ditambah biaya layanan bandara dan pajak. Harga tiket akan dievaluasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Saat ini, pengaturan harga tiket pesawat terdapat di Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 20 tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri dan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Dalam aturan ini, harga tiket pesawat ditentukan batas atas (TBA) dan batas bawah (TBB) berdasarkan layanan yang diberikan. Maskapai tidak boleh menjual di atas TBA atau di bawah TBB.

TBA dipakai untuk melindungi penumpang dari harga tinggi. Sedangkan TBB untuk melindungi maskapai agar tidak saling perang tarif.

Formulasi penentuan tarif berdasarkan biaya operasional pesawat yang banyak dioperasionalkan oleh maskapai dengan layanan maksimal.

Untuk pesawat jet, berdasarkan pesawat jenis Boeing 737 series atau Airbus A320 series. Sedangkan untuk pesawat propeller berdasarkan pesawat ATR 72.

Perhitungan biaya dari pesawat-pesawat tersebut kemudian diperhitungkan sebagai 95 persen dari tarif dasar batas atas untuk pesawat jet, sehingga ada margin keuntungan 5 persen. Sedangkan untuk pesawat propeller perhitungannya mencapai 100 persen.

Selanjutnya dari total biaya dan margin keuntungan tersebut akan dibagi dengan faktor muat 65 persen untuk jet dan 70 persen untuk propeller.

Artinya, jika maskapai menjual tiket jet di titik TBA dan jumlah penumpangnya mencapai 65 persen, maka akan mendapat keuntungan 5 persen. Sedangkan untuk propeller, jika menjual tiket TBA dan penumpang 70 persen, baru akan impas.

Tarif dasar ini kemudian akan dikalikan dengan jarak masing-masing rute. Misalnya, satu rute jaraknya 1000 km, maka tarif dasar tersebut akan dikalikan 1000 sehingga menjadi TBA.

Operasional berbeda

Sayangnya, dalam operasional di lapangan, tidak mudah menerapkannya. Siklus operasional penerbangan pesawat tidak sama dengan moda transportasi lain seperti mobil, bus, kereta dan sebagainya.

Dalam kondisi normal, biaya yang dikeluarkan pesawat untuk take off dan landing lebih besar dibanding saat terbang mendatar atau cruising.

Semakin pendek jarak tempuh, semakin besar perbandingannya. Jadi tidak heran kalau penerbangan jarak pendek justru biaya per kilometer lebih mahal dibanding jarak jauh. Hal ini berbeda dengan moda transportasi lain di mana biaya per kilometer sama dari awal sampai akhir.

Maskapai juga tidak mungkin menjual semua tiket di titik TBA karena penumpang pasti akan merasa tiket menjadi sangat mahal.

Jika harus menjual di bawah TBA, agar tetap bisa untung tentu jumlah penumpang harus lebih dari 65 persen untuk jet atau lebih dari 70 persen untuk propeller.

Selain itu juga sering muncul biaya-biaya tidak terduga. Misalnya, jika ada antrean di runway bandara saat pesawat take off atau landing, maka biaya akan membengkak. Padahal perhitungan tarif dari pemerintah hanya berdasarkan jarak, bukan waktu tempuh.

Dalam kondisi biasa, jarak 1000 km mungkin bisa ditempuh dalam 1 jam. Namun jika ada antrean di bandara, lama perjalanan bisa mencapai 1,5 jam.

Tentu saja biaya-biaya akan membengkak, terutama biaya BBM. Maskapai harus menanggungnya, walau itu bukan kesalahan mereka.

Masih banyak biaya tak terduga lainnya. Seperti proses pengadaan suku cadang pesawat yang semuanya dari impor dan memerlukan proses lama serta biaya besar. Biaya-biaya tersebut harus ditanggung maskapai.

Di sisi lain, mereka tidak bisa leluasa mengolah keuangan karena tarif ditetapkan oleh pemerintah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jumlah penumpang yang banyak belum tentu akan membuat maskapai sejahtera dan industri berkembang.

Kalau harga jual tiketnya ternyata tidak bisa menutupi biaya operasional, walaupun penumpang penuh, tentu maskapai tetap rugi. Lebih baik penumpang sedikit, tapi harga tiket tinggi, maskapai akan untung.

Hal inilah yang dilakukan maskapai nasional pada 2019 lalu, menaikkan harga tiket dan menutup rute yang rugi. Penumpang berkurang, tapi perusahaan lebih sehat.

Hitung-hitungannya sederhana. Jika harga tiket 100 dan penumpang 100, maka pendapatan hanya 10.000. Namun jika harga tiket 150 dan jumlah penumpang turun jadi 75, pendapatan justru mencapai 11.250.

Jadi sebaiknya jangan terlalu mengandalkan jumlah penumpang untuk menyatakan industri penerbangan kita sehat dan berkembang. Karena industri penerbangan kita berbeda dengan di luar negeri yang minim dari intervensi pemerintah.

Sebaiknya kita bersama-sama berkonsentrasi untuk mengurangi jumlah biaya operasional penerbangan, tanpa mengurangi keselamatan penerbangan. Bukan hanya maskapai, tapi juga pemerintah, bandara, pertamina dan lainnya.

Misalnya, dengan mengurangi biaya avtur, mengurangi kemacetan di bandara, memperbaiki sistem pentarifan, memperbaiki sistem importasi spareparts dan sebagainya.

Pemerintah juga harus jeli memeriksa laporan keuangan yang diberikan maskapai tiap tahun. Laporan keuangan dapat mengindikasikan maskapai sehat atau sakit.

Tidak itu saja, laporan keuangan juga bisa menggambarkan kondisi industrinya, berkembang, stagnan atau justru mundur sehingga bisa dicari jalan pembenahan.

Kalau cuma memakai indikator jumlah penumpang, itu hanya pandangan semu belaka.

https://money.kompas.com/read/2023/10/04/055648126/kebangkitan-semu-industri-penerbangan-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke