Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Duduk Perkara Lengkap "Tarik Ulur" Utang Minyak Goreng Senilai Rp 344 Miliar, Aprindo Vs Kemendag

Karena itu, Aprindo sepakat untuk melaporkan Kemendag ke Mabes Polri lantaran hak Aprindo tak juga diberikan atas pembayaran selisih minyak goreng (rafaksi) itu.

Namun sebenarnya bagaimana duduk perkaranya?

Duduk perkara utang minyak goreng

Adapun utang rafaksi tersebut sudah berangsur sejak setahun lebih yang mana pada saat itu Kementerian Perdagangan dipimpin oleh Muhammad Lutfi.

Sumber utang itu pun dimulai ketika awal Januari 2022 silam saat harga minyak goreng melambung tinggi hingga stoknya terbatas.

Pemerintah pun dalam hal ini adalah Kemendag melakukan berbagai upaya untuk meredam harga tersebut yang salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada tanggal 19 Januari.

Permendag itu menghendaki adanya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dengan satu harga. Ketika itu ada juga kebijakan yang ditetapkan yakni Harga Acuan Keekonomian (HAK) dan Harga Eceren Tertinggi (HET). Pada saat itu HAK minyak goreng Rp 17.260 per liter dan HET Rp 14.000 per liter.

Akhirnya Aprindo melalui anggota-anggotanya memerintahkan untuk menjual minyak goreng satu harga yakni Rp14.000 sesuai Permedag itu. Berapapun harganya yang mereka beli (dari produsen) tetap harus dijual Rp 14.000 per liter sesuai HET.

Singkatnya, pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada pelaku usaha itu berdasarkan selisih antara harga Rp 17.260 per liter dengan Rp 14.000.

Adapun berdasarkan catatan Kompas.com, pasal 7 aturan itu menyatakan, pelaku usaha (produsen minyak goreng) akan mendapatkan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Dana itu dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan pasar. Dalam Permendag tersebut, HET ditetapkan Rp 14.000 per liter.

Dengan adanya selisih tersebut artinya pemerintah mempunyai utang selisih pembayaran yang harus dibayarkan namun harus melalui proses verifikasi yang panjang sesuai dengan aturan.

Sayangnya pada saat itu, Kementerian Perdagangan mengalami keterlambatannya untuk menujuk verifikatornya sehingga adanya keterlambatan yang mengakibatkan verifikasinya berjalan cukup panjang melampaui waktunya.

Alih-alih ingin membayar, Kemendag malah mencabut Permendag Nomor 3 Tahun 2022 tersebut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.


Minta Pendapat Hukum hingga Verifikasi Jumlah Utang

Lantaran Permendag asal muasal utang itu dicabut, Kemendag pun meminta pendapat hukum atau Legal Opinion (LO) ke Kejagung apakah utang itu harus dibayarkan atau tidak.

Setelah menunggu lama akhirnya LO dari Kejagung resmi keluar dan menyatakan utang itu tersebut memang harus dibayarkan oleh Kemendag.

Namun Kemendag kembali bersihkeras tidak membayar utang itu. Alasan selanjutnya adalah karena jumlah utang yang diklaim oleh Aprindo berbeda dengan hitung-hitungan dari Kemendag.

Kemendag pun meminta ke PT Sucofindo memverifikasi nilai utang itu. PT Sucofindo mengklaim pemerintah memiliki utang sebesar Rp 474,8 miliar namun Aprindo mengklaim sebesar Rp 344 miliar.

Apakah utang itu sudah dibayarkan? Belum. Dalil selanjutnya dari Kemendag adalah akan membawakan permasalahan ini ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Alasannya karena utang itu juga disepakati dalam rakortas di kementerian itu.

Ihwal itu, Aprindo pun kesal lantaran utang rafaksi minyak goreng masih belum dibayarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) hingga saat ini.

Ketua Aprindo Roy Mandey mengatakan, dengan adanya rencana Kemendag yang membawa polemik ini kembali ke Kementerian Perekonomian menandakan ketidak seriusan pemerintah dalam menyelesaikan kewajibannya untuk membayar utang senilai Rp 344 miliar itu.

Padahal dia menjelaskan, Aprindo tengah mengikuti semua prosedur yang dimintai Kemendag mulai dari meminta pendapat hukum (Legal Opinion/LO) dari Kejaksaan Agung, hingga ke Sucofindo.

"Kita dipingpong (lempar sana-sini). Kenapa dipingpong yasudah dong Kemenko Perekonomian dari awal memang tupoksinya di dia tapi kenapa diujung ditanya lagi, dinyatakan lagi kita mau ke Kemenko Perekonomian," ujar Roy saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Selasa (5/9/2023).

"Lah yang dari Kejaksaan Agung gimana? Legal Opinionnya (LO) kan sudah keluar. Katanya kalau sudah dari Kejagung keluar LO-nya sudah selesai, saya bilang itu dagelan, pingpong. Kalau bisa dipermudah dipersulit," sambung Roy.


Lakukan Potongan Tagihan

Imbas hal itu, Roy mengatakan, selain Hypermart dan Ramayana, saat ini sudah ada 10 ritel modern lainnya yang sudah melakukan pemotongan tagihan minyak goreng yang berjalan kepada distributor atau produsen.

Roy menjelaskan, pemotongan tagihan tersebut sebagai upaya mengganti selisih harga yang belum dibayarkan Kementerian Perdagangan.

"Selain Ramayana yang sudah mulai pemotongan tagihan Hypermart. Selain Hypermart, peritel lokal banyak total ada sekitar 10-an yang sudah melakukan pemotongan tagihan di beberapa provinsi," kata Roy.

Ancaman Aprindo ke PTUN Hingga Mabes Polri

Lantatan utang tersrbut tak kunjung dibayar juga, Aprindo sepakat menggugat Kemendag ke Peradilan Tata Usaha Niaga (PTUN).

Teranyar, Aprindo bersama 5 produsen minyak goreng akan melaporkan Kementerian Perdagangan ke Mabes Polri.

Roy menuturkan apabila selama ini yang selalu menuntut pembayaran bisa segera diselesaikan adalah Aprindo sendiri, namun pihaknya telah mendapatkan dukungan dari 5 produsen minyak goreng yang juga haknya belum diselesaikan oleh pemerintah.

Sayangnya Roy pelit bicara membeberkan siapa 5 produsen migor yang akan melaporkan itu.

"Awalnya hanya mau Aprindo saja yang maju untuk kita menjalankan ke jalan hukum, tapi kita masih terus berdiskusi di internal karena produsen migornya masih dalam proses-proses komunikasi. Belum 1 bulan ini, 4-5 produsen minyak goreng ikut sama-sama mempersoalkan rafaksi yang utangnya juga belum dibayar," ujar Roy saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (15/11/2023).

Roy mengatakan pihaknya merasa dizalimi oleh pemerintah. Sebab, pelaku usaha sudah dibujuk untuk menjual migor dengan harga yang murah ketika kasus kelangkaan dan mahalnya minyak goreng di 2022 yang lalu.

Sementara ketika penugasan itu dilakukan oleh pelaku usaha, pemerintah menunjukkan ketidakseriusannya untuk membayar utang tersebut.

"Diminta dan dijanjikan pula, dijanjikan Permendag 3/2022, tetapi tidak dipenuhi dengan berbagai alasan. Dengan janji dan alasan yang bermacam-macam. Ini sudah mau akhir tahun, sudah mau 2 tahun, tinggal 1 bulan lagi berumur 2 tahun. Dan ini hak pelaku usaha dan kewajiban pemerintah karena kita sudah penuhi kewajiban kita menjual Rp 14.000 (per liter) di seluruh Indonesia," katanya.

Roy menambahkan, tak sampai akhir tahun 2023 ini pihaknya akan mengambil langkah tegas dengan melaporkan Kementerian Perdagangan ke Polisi juga utang minyak goreng itu tak kunjung diselesaikan juga.

"Ini sudah mau 2 tahun, tak sampai akhir tahun ini kita ambil langkah konkrit, kita lapor ke Mabes Polri, kita tidak menyerah karena ini hak kita," ungkap Roy.

https://money.kompas.com/read/2023/11/19/190000126/duduk-perkara-lengkap-tarik-ulur-utang-minyak-goreng-senilai-rp-344-miliar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke