Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

“Memadamkan Api” Perburuan Rente di Indonesia

Kondisi seperti ini merupakan habitat yang sangat cocok bagi menjamurnya para pencari rente di segala sektor perekonomian Republik.

Sejatinya, perburuan rente adalah konsep dalam ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa seseorang atau suatu entitas berusaha untuk meningkatkan kekayaannya sendiri tanpa menghasilkan manfaat atau kekayaan apa pun bagi masyarakat luas.

Kegiatan perburuan rente bertujuan memperoleh keuntungan finansial dan keuntungan lainnya melalui manipulasi distribusi sumber daya ekonomi.

Para ekonom memandang kegiatan-kegiatan seperti itu merugikan perekonomian dan masyarakat. Praktik ini mengurangi efisiensi ekonomi melalui alokasi sumber daya yang tidak efisien.

Selain itu, hal ini seringkali menimbulkan dampak negatif lainnya, seperti meningkatnya ketimpangan pendapatan, hilangnya pendapatan pemerintah, dan berkurangnya persaingan.

Perburuan rente cenderung tidak meningkatkan produktivitas kinerja. Di sisi lain, hal ini dapat menjadi alternatif produksi yang lebih mudah untuk tujuan memperoleh keuntungan finansial.

Praktik ini sangat berguna pada saat perekonomian mengalami perlambatan atau resesi ketika perusahaan tidak dapat dengan mudah meningkatkan produksi.

Selain itu, aktivitas perburuan rente juga dinilai menghambat inovasi. Daripada mengembangkan metode inovatif baru untuk menghasilkan pendapatan, perusahaan mungkin mengandalkan praktik tersebut untuk meningkatkan kekayaan mereka.

Konsep perburuan rente dikembangkan oleh ekonom Amerika Serikat, Gordon Tullock pada tahun 1967. Namun, sebetulnya istilah tersebut ditawarkan oleh Anne Osborn Krueger.

Anne Osborn Krueger adalah seorang ekonom Amerika Serikat yang pernah menjabat sebagai Kepala Ekonom Bank Dunia dari 1982 hingga 1986, dan wakil direktur pelaksana pertama Dana Moneter Internasional dari 2001 hingga 2006.

Sejatinya, istilah “rente” mengacu pada salah satu sumber pendapatan yang dikonsep oleh Adam Smith.

Menurut John Adam Smith, rente adalah aktivitas meminjamkan sumber daya miliknya sendiri dengan imbalan keuntungan tertentu dalam jumlah yang jauh lebih besar dengan risiko dan biaya yang minimal.

Perburuan rente ekonomi dan politik

Banyak orang mengira perilaku perburuan rente terjadi dalam konteks ekonomi saja.
Piotr Kozarzewski, ilmuwan politik dan guru besar pada Maria Curie-Sk?odowska University di Lublin, Rusia mengemukakan pandangan yang berbeda.

Dalam bukunya State corporate control in transition: Poland in a comparative perspective (2019: 295) ia mengatakan bahwa selain sebagai fenomena ekonomi, ada pula perilaku perburuan rente yang lebih bernuansa politis. Ia menyebutnya sebagai ‘perburuan rente politik’.

Menurut dia, sebagai fenomena ekonomi, pemburu rente umumnya berupaya sedemikian rupa untuk meraih keuntungan finansial dan ekonomi besar dengan biaya sangat kecil.

Aktornya bisa saja para pelaku bisnis, dan para politisi atau pejabat korup yang ingin menggunakan kekuasaan birokrasinya demi meraih keuntungan material atau finansial.

Berbeda dengan perburuan rente ekonomi. Perburuan rente jenis ini tidak bermaksud meraih keuntungan material atau finansial.

Dalam hal ini, para pemburu melakukan berbagai upaya politis seperti lobi politik, negosiasi politik, bahkan melakukan tekanan politik dan menggunakan wewenang politik dengan maksud meraih keuntungan politis, seperti melanggengkan kekuasaan, memberlakukan suatu idiologi tertentu, atau meraih kemenangan dalam Pemilu.

Tidak jarang, upaya-upaya politis tersebut dilakukan sambil mengeluarkan biaya yang sangat besar. Jadi, secara ekonomis-finansial mereka bisa saja merugi, tetapi mereka meraih keuntungan secara politis.

Perburuan rente di Indonesia

Peneliti Dini Rizki Fitriani (2021) mengungkapkan bahwa praktik perburuan rente bukan hal baru di Indonesia.

Menilik sejarahnya, praktik tersebut ibarat ‘nyala api’ yang sudah ada pada zaman kerajaan, zaman Kolonial Belanda, masa Kemedekaan, masa Orde Lama, dan menjadi semakin berkobar pada masa Orde baru hingga masa Reformasi sekarang ini.

Dalam kacamata Piotr Kozarzewski, praktik perburuan rente di Indonesia, tak hanya bernuansa ekonomis, tetapi bernuansa politik juga.

Dari sisi locusnya, perilaku perburuan rente di Indonesia, boleh dibilang terjadi di semua lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Pertanyaannya, mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Alasannya yang paling kasat mata adalah karena proses dan mekanisme politik untuk menjadi pejabat publik dilakukan dengan biaya transaksi yang tinggi.

Proses politik yang bernuansa perburuan rente akan menghasilkan pejabat publik yang juga pemburu rente (rent seeker).

Sebab, ketika tokoh tersebut menjadi pejabat publik, maka yang bersangkutan pasti akan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

Ringkasnya, ada tiga jenis perburuan rente yang paling sering terjadi di Indonesia.

Pertama, lobi, calo atau perantara ekonomi-bisnis. Ini adalah fenomena pejabat publik memfasilitasi pelaku usaha tertentu untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap proyek pembangunan pemerintah.

Praktik tersebut dikategorikan sebagai bentuk perburuan rente karena merugikan masyarakat dalam dua hal, yakni para pelaku usaha akan memasukkan seluruh biaya yang dikeluarkan – untuk pejabat – ke dalam komponen biaya proyek. Dampak selanjutnya, kualitas dan kuantitas proyek akan berada di bawah spesifikasi yang disepakati dalam kontrak proyek.

Selain itu, masyarakat juga bisa dirugikan karena bisa saja ada pelaku usaha yang memberi penawaran lebih menguntungkan kepada masyarakat, tetapi karena pelaku usaha tersebut tidak mendapat cadangan dari pihak berwenang, maka mereka gagal mendapatkan proyek tersebut.

Bentuk perilaku perburuan rente kedua yang sering dijalankan oleh pejabat publik di Indonesia adalah menerbitkan izin usaha kepada pelaku bisnis di sektor-sektor strategis seperti izin impor, ekspor, atau izin usaha lainnya.

Melalui penerbitan izin tersebut, pejabat publik menyediakan keistimewaan berusaha bagi pelaku tertentu.

Sebagai imbalannya si pejabat publik akan mendapatkan fee atau komisi dari perusahaan yang telah menerima ‘karpet merah’ melalui izin tertentu itu.

Ketiga, perilaku perburuan rente juga tampak adalah proses mekanisme tender proyek. Dalam hal ini para pihak yang berkepentingan melobi para pejabat pengambil keputusan agar memuluskan dan menguntungkan pihak tertentu.

Tentu saja praktik-pratik seperti itu sangat merugikan masyarakat. Sebab, pada umumnya kesepakatan antara elite eksekutif berimplikasi pada pelaksanaan proyek.

Pratik perburuan rente berdampat negatif bagi pertumbuhan ekonomi, karena baik secara langsung maupun tidak langsung dengan meningkatkan biaya produksi dan menghasilkan inefisiensi sosial (Ugur, 2014).

Sulit dipadamkan

Bukan hanya di Indonesia, di banyak negara lain gelora perilaku perburuan sangatlah sulit dipadamkan. Sebab, ibarat api di dalam sekam, pada umumnya aktivitas perburuan rente dilakukan dengan strategi ‘senyap’.

Walau dampaknya nyata dirasakan publik, tetapi sulit dibuktikan siapa pelaku utamanya.

Selain itu para ‘aktor’ umumnya adalah elite yang tak jarang terafiliasi dengan oknum-oknum penegak hukum. Sehingga tak jarang kasus perburuan rente tidak ditangani pihak penegak hukum secara tuntas.

Seringkali pula penegakan hukum tampak ‘loyo’ di hadapan para aktor perburuan rente yang terbukti melanggar hukum. Mereka kemudian memberikan saksi hukum yang tidak menimbulkan efek jera.

Tak jarang pula desakan publik, kritik dan himbauan moral terhadap para pelaku perburuan rente, tidak mendapat respons yang wajar, bahkan dianggap seperti angin lalu.

Bahkan, seringkali dari balik jeruji penjara, pemburu rente masih leluasa membangun jejaringan untuk terus melanjutkan aksi perburuan rente dengan modus baru.

Meski demikian, bangsa ini, terutama para penegak hukum, tak boleh berputus asa dalam upaya memberangus perilaku perburuan rente.

Warga bangsa ini harus tetap memompa energi baru agar para penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan pendekatan holistik untuk mencegah dan memberantas aktivitas perburuan rente.

Selain memberikan hukuman berat kepada pemburu rente, pihak penegak hukum bersama masyarakat perlu menutup semua celah yang memungkinan lahirnya aksi perburuan rente.

Kita perlu mendorong penerapan prinsip transparansi dan akuntablitas pada dua sisi, baik pada sisi publik, dan sisi kelompok kepentingan khusus.

Artinya, pada satu sisi, sesuai haknya, masyarakat wajib mendapat informasi publik yang lengkap tentang proyek pemerintah dan mekanisme berpartisipasi dalam proyek tersebut.

Pada sisi lain, memberlakukan mekanisme penawaran dan tender yang transparan dan fair serta akuntabel sehingga menghasilkan harga dan jasa yang terbaik.

Terakhir, apabila berbagai pendekatan tidak juga mempan, maka kita perlu meniru cara yang lebih tegas sebagaimana ditempuh Tiongkok: yaitu memanggang ‘hiu pemburu rente’ di depan umum dengan cara menyediakan peti mati bagi pemburu rente yang terbukti melanggar hukum berat, dan merugikan negara di atas batas kewajaran.

https://money.kompas.com/read/2023/11/26/150254226/memadamkan-api-perburuan-rente-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke