Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ada Pasal Tembakau di RPP Kesehatan, Ini Dampaknya Menurut Asosiasi Pabrik Rokok

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah saat ini tengah menyusun draf atau Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan).

Rencananya, RPP itu akan memuat sejumlah pengendalian produksi, penjualan, dan sponsorship produk tembakau. Namun demikian, RPP itu dinilai bisa mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ketua Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengatakan, pemberlakuan pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan, akan menghilangkan mata pencaharian lebih dari 6 juta masyarakat mulai dari buruh, petani tembakau, petani cengkeh, pedagang atau peritel, serta pelaku industri kreatif.

Ia juga meminta kepada pemerintah untuk berhati-hati terhadap rancangan PP tersebut dan memperhatikan banyaknya sektor yang terlibat di dalamnya.

“Kami meminta agar tidak tergesa memutuskan aturan tersebut dengan mempertimbangkan dampak sosial yang akan timbul dari pengaturan tersebut. Jika pasal-pasal tembakau di RPP tersebut diberlakukan, ancaman terhadap keberlangsungan IHT sangat nyata dan signfikan,” ucap Henry dalam keterangannya, Jumat (8/12/2023).

Gappri yang menjadi wadah konfederasi bagi IHT jenis produk khas kretek, yang beranggotakan pabrikan dari berbagai golongan menilai bahwa sebaiknya aturan bagi produk tembakau dikeluarkan dari RPP Kesehatan dan diatur dalam peraturan sendiri.

Menurut Henry, bagi Gappri, pengaturan yang saat ini pun dirasa sudah berat. Selain karena kenaikan tarif cukai berdampak terutama susutnya produksi di golongan I juga banyaknya pabrik yang tutup dari 4.669 unit usaha di tahun 2007 menjadi 1.100 di tahun 2022.

Henry juga mengatakan, banyak pihak terdampak yang tidak diajak dalam merumuskan kebijakan tersebut. Padahal mereka yang akan menanggung beban kebijakan tersebut.

Henry juga menyampaikan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Presiden dan meminta agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan.

Selain itu, Gappri juga meminta agar pembahasan dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan mempertimbangkan kearifan lokal, besaran ekonomi, penerimaan negara, serta serapan tenaga kerja dari industri tembakau nasional beserta industri terkait lainnya.

Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia Janoe Arijanto menerangkan, industri kreatif dan penyiaran serta para tenaga kerjanya sangat terancam keberlangsungannya bila larangan total iklan produk tembakau diberlakukan.

Rencana pelarangan total iklan pada pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan akan secara langsung mengurangi pendapatan industri kreatif, hiburan, dan periklanan. Hal ini juga akan berdampak terhadap keberlangsungan usahanya dan nasib tenaga kerja yang menggantungkan pekerjaannya kepada mata sektor tersebut.

“Penerimaan yang diperoleh industri kreatif akan menurun 9 sampai 10 persen yang akan berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan industri kreatif,” ucap dia.

Janoe mengatakan, mengutip data TV Audience Measurement Nielsen, iklan produk tembakau bernilai lebih Rp 9 triliun sementara kontribusi tembakau terhadap media digital mencapai sekitar 20 persen dari total pendapatan media digital di Indonesia yaitu sekitar ratusan miliar per tahun.

Terlebih lagi, berdasarkan Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di 2021, industri kreatif memiliki lebih dari 725.000 tenaga kerja dan secara umum, multisektor di industri kreatif juga mempekerjakan 19,1 juta tenaga kerja.

Dia mengungkapkan, selama ini industri kreatif nasional patuh pada aturan iklan produk tembakau yang telah ditetapkan. Industri juga turut mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok anak.

Selama ini, terang Janoe, industri kreatif nasional mematuhi peraturan yang berlaku dan iklan rokok telah diatur melalui sejumlah regulasi produk tembakau, di antaranya PP 109/2012 serta ketentuan yang telah diatur secara detil dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).

“Dalam hal ini, penyempitan jam tayang iklan rokok di TV dalam RPP Kesehatan dinilai diskriminatif bagi industri kreatif nasional yang telah mematuhi segala aturan periklanan produk tembakau,” sebut dia.


Janoe menerangkan, kebijakan ini seharusnya didiskusikan bersama pihak yang akan bersinggungan dengan regulasi, mengingat RPP Kesehatan mencakup banyak bidang usaha yang banyak dan beririsan dengan produk tembakau.

Menurutnya, pelibatan terhadap para pelaku industri dari pemerintah dalam membahas regulasi ini memang belum pernah terealisasi.

Pihaknya terbuka dalam diskusi proses penyusunan kebijakan agar dalam perubahannya tidak merugikan para pelaku industri kreatif serta tepat sasaran dalam mendukung upaya pemerintah.

“Kami juga berharap agar dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan yang akan berdampak terhadap industri kreatif,” sebut Janoe.

https://money.kompas.com/read/2023/12/08/212009626/ada-pasal-tembakau-di-rpp-kesehatan-ini-dampaknya-menurut-asosiasi-pabrik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke