Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Outlook Kebijakan Pajak 2024

Baru-baru ini, pada 29 November, OECD memproyeksikan perlambatan ekonomi global pada 2024. Sementara itu, Bank Dunia turut memprediksi penurunan indeks harga komoditas sebesar 4 persen.

Perlambatan tersebut menjadi sinyal akan melemahnya arus perdagangan global. Kondisi ini akan berimbas pada penerimaan pajak dari sektor impor, yang juga telah terkontraksi hingga 6,9 persen per September 2023.

Meskipun demikian, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2024 tetap optimistis dengan angka 5,2 persen, jauh melebihi rata-rata OECD dan G20 yang masing-masing sebesar 1,4 persen dan 2,8 persen.

Pertumbuhan tersebut diperkirakan akan didorong oleh penguatan pasar tenaga kerja dan daya beli masyarakat.

Kedua sektor esensial inilah yang akan menjadi pilar utama dalam meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dan pertambahan nilai.

Untuk mewujudkan potensi fiskal ini, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyampaikan bahwa perluasan basis pajak akan menjadi salah satu kebijakan utamanya (Kompas.com, 29/08/2023). Salah satunya adalah melalui integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Dalam Konferensi Pers APBN 2024, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan bahwa penerapannya akan dimulai pada pertengahan 2024, ditunda dari rencana awal pada Januari 2024 (Kompas.com, 25/11/2023).

Penundaan ini terjadi lantaran masih banyak masyarakat yang belum menyelesaikan validasi data. Tercatat baru terdapat 59,3 juta (82,4 persen) dari 72 juta NIK yang telah dilakukan pemadanan per November 2023.

Lebih jauh, integrasi NIK menjadi NPWP sejatinya untuk mempersiapkan sistem administrasi perpajakan baru yang akan diberlakukan mulai pertengahan 2024.

Proyek senilai Rp 2,9 triliun ini nantinya menyatukan seluruh layanan perpajakan dalam portal tunggal yang lebih efisien.

Migrasi sistem perpajakan membawa perubahan besar dalam upaya menyederhanakan administrasi perpajakan.

Sebelumnya, pada 2020, Indonesia menempati peringkat ke-26 dalam sistem administrasi pajak terumit di dunia berdasarkan survei German Research Foundation.

Penyederhanaan lain juga dirancang atas pemotongan pajak penghasilan pegawai atau karyawan, yang lebih dikenal sebagai PPh Pasal 21.

Dijadwalkan berlaku mulai Januari 2024, penggunaan tarif efektif rata-rata akan menggantikan skema tarif progresif disertai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang berlaku saat ini.

Masih dalam upaya mendukung kemudahan, sejumlah insentif perpajakan turut diberikan sepanjang tahun depan. Nilai anggarannya mencapai Rp 374,5 triliun, menjadi yang tertinggi selama 5 tahun terakhir (Kompas, 22/09/2023).

Dari total nilai tersebut, Rp 75,9 triliun diarahkan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Insentif pembebasan pajak penghasilan akan tetap berlaku pada 2024 bagi UMKM orang pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp 500 juta dalam setahun.

Untuk UMKM lainnya, insentif tarif pajak sebesar 0,5 persen tetap berlaku sesuai jangka waktu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 55/2022.

Jangka waktu tersebut adalah 7 tahun bagi orang pribadi, 3 tahun bagi badan usaha berbentuk perseroan terbatas, dan 4 tahun bagi badan usaha lainnya, dihitung sejak terdaftar sebagai wajib pajak.

Selanjutnya, mengatasi isu backlog perumahan, pemerintah akan menanggung pajak pertambahan nilai atas pembelian rumah dengan harga jual tidak melebihi Rp 5 miliar.

Insentif ini berlaku mulai November 2023 hingga Desember 2024, bersamaan dengan Program Bantuan Biaya Administrasi milik Kementerian PUPR yang menyasar 282.000 unit rumah.

Arah kebijakan pajak 2024 menjanjikan banyak perubahan besar. Pemerintah terus berusaha memberikan kemudahan melalui penyederhanaan administrasi dan insentif perpajakan.

Namun, keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat tergantung pada partisipasi aktif masyarakat. Dengan dukungan bersama, diharapkan dapat terwujud iklim perpajakan yang menguatkan fondasi anggaran untuk membangun ekonomi secara berkelanjutan dan inklusif.

https://money.kompas.com/read/2023/12/12/130838726/outlook-kebijakan-pajak-2024

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke