Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gugatan Diproses di MK, Pelaku Usaha Diminta Bayar Pajak Hiburan dengan Tarif Lama

Selama proses berlangsung, DPP GIPI mengimbau seluruh anggota untuk membayar pajak hiburan dengan tarif lama.

Hal tersebut disampaikan melalui Surat Edaran (SE) DPP GIPI yang ditujukan untuk seluruh Pengusaha Diskotik, Pengusaha Karaoke, Pengusaha Kelab Malam, Pengusaha Bar dan Pengusaha Mandi Uap/Spa, pada Senin (12/2/2024).

"Dengan mulai berjalannya proses hukum di Mahkamah Konstitusi, maka DPP GlPl menyampaikan sikap bahwa selama menunggu putusan Uji Materi di Mahkamah Konstitusi, maka pengusaha jasa hiburan (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) membayar pajak hiburan dengan tarif lama," demikian keterangan dalam SE DPP GIPI yang diterima Kompas.com, Senin.

Dalam SE tersebut disebutkan bahwa hal ini dilakukan agar menjaga keberlangsungan usaha hiburan dlskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa terhadap kenaikan tarif yang akan berdampak pada penurunan konsumen.

Adapun harapan DPP GIPI dalam pengujian materil ini bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mencabut Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, sehingga penetapan Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang termasuk dalam Jasa Kesenian dan Hiburan adalah sama, yaitu antara 0-10 persen.

"Dengan dicabutnya Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2A22, tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha Jasa Kesenian dan Hiburan," demikian keterangan GIPI.

Sebelumnya, DPP GIPI resmi mengajukan uji materil atau judicial review terhadap Pasal 58 Ayat 2 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/2/2024).

Adapun pada Pasal 58 Ayat 2 mengatur tarif pajak hiburan 40-75 persen untuk lima jasa hiburan yaitu diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani mengatakan, dalam gugatan tersebut, asosiasi meminta MK untuk membatalkan Pasal 58 Ayat 2 dalam UU HKPD.

Sebab, menurut dia, aturan tersebut memberikan perlakuan berbeda terhadap lima jasa hiburan tersebut.

"Pasal 58 Ayat 2 ini sebagaimana kita ketahui adalah berisi pasal tentang perlakuan tarif yang berbeda untuk usaha jasa hiburan yaitu kelab malam, diskotik, bar, karaoke, dan mandi uap atau spa. Jadi, kami meminta untuk ini dibatalkan," kata Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu.

Hariyadi mengatakan, mengingat proses judicial review di MK memakan waktu cukup lama, pihaknya akan mengeluarkan surat edaran kepada para anggota asosiasi agar pembayaran pajak hiburan merujuk pada tarif yang lama yaitu 10 persen.

"Kami mengimbau untuk membayar tarif pajak sesuai tarif yang lama sementara seperti itu, agar mereka bisa bertahan sambil menunggu kepala daerah setempat mengeluarkan kebijakan melalui insentif fiskal," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kuasa Hukum DPP GIPI Muhammad Joni mengatakan, pihaknya menggugat Pasal 58 Ayat 2 yang akan diuji dengan lima pasal dalam UUD 1945.

Adapun kelima pasal tersebut yaitu, Pasal 28 D Ayat 1 tentang kepastian hukum yang adil, Pasal 28 I Ayat 2 tentang larangan untuk tidak dilakukan tindakan diskriminatif, Pasal 28 G Ayat 1 tentang perlindungan terhadap harta di bawah kekuasaannya.

Kemudian Pasal 28 H Ayat 1 tentang pelayanan kesehatan dan Pasal 27 Ayat 2 hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

"Mengapa kita menguji Pasal 58 Ayat 2? Karena ada perlakuan berbeda yang bersifat diskriminatif. Pertama, karena ada (Pajak) yang diturunkan tapi mengapa lima jenis ini dinaikkan?," kata Joni

Joni mengatakan, kenaikan pajak hiburan yang terlalu tinggi tersebut tidak ditemukan rujukannya di dalam naskah akademis.

Lebih lanjut, ia mengatakan, perlakuan berbeda terhadap lima jasa hiburan yang dikelompokkan bersifat mewah dan perlu dikendalikan tidak bisa diterima melalui logika dan rasio hukum.

"Karena itu, klasifikasi ini tepatnya reklasifikasi dari undang-undang sebelumnya ke undang-undang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu diskriminatif kemudian bertentangan dengan naskah akademisnya sendiri," ucap dia.

https://money.kompas.com/read/2024/02/13/083900226/gugatan-diproses-di-mk-pelaku-usaha-diminta-bayar-pajak-hiburan-dengan-tarif

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke