Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

AI dan Stabilitas Sistem Keuangan

Bahkan, regulator dan otoritas keuangan di berbagai negara mulai mengisyaratkan bahwa akan menjadikan AI dan konsekuensi ditimbulkannya sebagai prioritas pengawasan utama pada 2024.

Laporan terbaru The Financial Stability Oversight Council (FSOC) (badan regulasi yang bertugas memantau potensi kerentanan dalam sektor keuangan AS) yang dirilis akhir 2023 lalu untuk pertama kalinya mengidentifikasi kecerdasan buatan (AI) sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas keuangan negara.

Ada tantangan dalam menjelaskan secara transparan dan akurat bagaimana AI membuat keputusan, serta dalam mengatasi bias yang mungkin terjadi dalam analisis data.

Ini juga menyoroti potensi penyalahgunaan AI oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanipulasi pasar keuangan.

Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045. Klasifikasi Baku Lapangan Industri Aktivitas Pemrograman Berbasis AI juga telah diatur melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2021.

Seluruh tindakan antisipatif ini tak lepas dari dilema dan risiko penggunaan kecerdasan buatan dalam sistem keuangan.

Di satu sisi, penggunaan AI dalam cakupan mikroprudensial, seperti manajemen risiko, perlindungan konsumen, dan pencegahan penipuan dianggap sangat menguntungkan.

AI dapat memberikan efisiensi dan akurasi tinggi dalam menangani data besar, menerapkan aturan yang stabil, dan mengurangi biaya kesalahan.

Misalnya, robot analis dapat secara otomatis memantau transaksi nasabah untuk mendeteksi potensi krisis sebelum terjadi, atau chatbot AI dapat memberikan pelayanan pelanggan yang responsif dan efisien secara 24/7.

Hal ini dapat membantu meningkatkan pengelolaan risiko pada tingkat individu dan melindungi konsumen dari penipuan.

Namun, di sisi lain, penggunaan AI dalam lingkup makroprudensial, yaitu pengawasan sistem keuangan secara keseluruhan.

AI yang digunakan dalam pengambilan keputusan di tingkat makroprudensial dapat berpotensi menghasilkan perilaku yang tidak terduga dan berbahaya.

Algoritma AI dapat memicu gelembung spekulatif yang berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Selain itu, interaksi kompleks antara berbagai entitas keuangan dan algoritma AI dari berbagai lembaga dapat menciptakan dinamika yang sulit diprediksi dan dikelola.

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam pasar keuangan melibatkan risiko terkait adaptasi pasar yang dinamis.

Seperti yang diingatkan oleh Hukum Goodhart (1974), upaya pengendalian yang terlalu ketat justru dapat memicu respons tak terduga dari sistem dan pelaku pasar untuk menghindari aturan tersebut.

Hal serupa terjadi dengan AI, yang belajar dari data historis di mana pasar keuangan telah mengadopsi berbagai tindakan adaptif untuk mengelakkan regulasi.

Oleh karena itu, model AI yang berbasis pada data historis mungkin gagal memprediksi dampak regulasi baru yang belum pernah ditemui sebelumnya.

Ini menciptakan tantangan terhadap kemampuan AI untuk mengatasi situasi yang tidak terduga dan kompleks, yang disebut sebagai risiko atau kerentanan tidak teridentifikasi sebelumnya (unknown-unknowns).

Meskipun AI sangat baik dalam menangani informasi yang telah diketahui (known-knowns) dan bahkan dapat dilatih menggunakan skenario simulasi (known-unknowns), kemampuannya dalam menangani situasi yang tidak diketahui masih terbatas dibandingkan dengan manusia.

Keterbatasan ini dapat menjadi masalah saat krisis terjadi, karena krisis seringkali melibatkan situasi yang tidak terduga dan kompleks.

Kompleksitas tersebut merupakan bagian alami atau intrinsic (endemik) dari sistem keuangan itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa sistem keuangan secara inheren, rumit dan sulit dipahami, dengan banyak interaksi antara berbagai entitas, instrumen, pasar, dan faktor-faktor lainnya yang saling memengaruhi.

Dan hal ini tidak dapat dihindari atau dihilangkan sepenuhnya, dan merupakan ciri khas yang melekat dalam sistem keuangan secara keseluruhan

Itu sebabnya, saat Bank Indonesia mulai mengadopsi teknologi AI terkini dalam proses bisnisnya tetap memperhatikan potensi manfaat serta tantangan risikonya.

Integrasi penggunaan AI berbasis pemanfaatan data granular, high frequent data, dan big data bisa mendukung proses pengambilan keputusan dan kebijakan telah terinisiasi dalam kerangka Rencana Induk Inovasi Bank Indonesia (RIVIBI) (Mara, 2024).

Sistem AI berbasis big data ini dirancang untuk mengumpulkan dan menganalisis data keuangan dari berbagai lembaga keuangan di Indonesia, seperti bank-bank dan lembaga keuangan non-bank.

Namun, ada yang perlu diantisipasi, misalnya ketika terjadi penurunan signifikan dalam kinerja ekonomi Indonesia, sistem AI di Bank Indonesia secara otomatis memperbarui model analisisnya berdasarkan data baru yang diterimanya.

Dengan model yang serupa dan terstandarisasi, AI di Bank Indonesia dan mungkin juga di lembaga keuangan lainnya akan memberikan respons seragam terhadap situasi tersebut.

Contoh lainnya, jika AI di Bank Indonesia menafsirkan data baru sebagai indikasi perlambatan ekonomi, maka AI di lembaga keuangan lainnya juga akan merespons dengan cara yang serupa.

Hal ini dapat menciptakan efek domino di pasar keuangan, di mana keputusan investasi dan strategi bisnis yang seragam (monokultur) dari berbagai lembaga keuangan dapat memperkuat tren penurunan atau peningkatan ekonomi.

Inilah salah satu ancaman besar dalam sistem keuangan era AI di mana kecenderungan pelaku pasar untuk berpikir dan bertindak serupa, sehingga berpotensi memicu gelembung dan keruntuhan sistem finansial secara bersamaan.

Dampak seragam dari keputusan AI dapat memperkuat efek siklus (procyclicality), yang dapat meningkatkan volatilitas dan risiko sistemik dalam jangka pendek (Danielsson, 2024).

Oleh karena itu, penting bagi otoritas keuangan Indonesia dan regulator mengakomodir perkembangan (future-proof) pesat AI. Pembuatan instrumen seperti surat edaran tidak bisa selalu menjadi solusi.

Teknik pembuatan peraturan secara konvensional perlu dikembangkan agar tidak memberikan dampak negatif terhadap perkembangan teknologi tersebut.

Panduan teknis juga sangat berguna saat intervensi melalui peraturan diperlukan untuk mengakomodir perkembangan teknologi (Coglianese, 2021).

Otoritas ekonomi dan keuangan membutuhkan sistem yang baik untuk merespons perkembangan teknologi melalui keterlibatan lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha untuk mengimbangi cepatnya laju perkembangan AI.

https://money.kompas.com/read/2024/03/07/123526526/ai-dan-stabilitas-sistem-keuangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke