Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bahaya Inflasi Vs Deflasi

Menurutnya, naik dan turunnya pergerakan pada tingkat harga adalah fenomena keuangan.

Deflasi merupakan fenomena penurunan harga yang ada di dalam suatu wilayah. Deflasi terjadi karena kekurangan jumlah uang beredar yang menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun.

Antara inflasi dan deflasi mempunyai pengertian pada daya beli masyarakat yang naik maupun menurun.

Inflasi global terjadi saat ini lebih mengarah pada supply side. Faktor penyebabnya menurunnya kualitas iklim, ketegangan geopolitik yang tidak kunjung reda, serta pengetatan kebijakan moneter negara maju masih berlanjut, karena tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup.

Berbicara fenomena inflasi dan deflasi, keduanya memiliki jalur dan cerita ekonomi yang berbeda. Deflasi jauh lebih berisiko dibandingkan inflasi.

Jepang, misalnya, adalah negara maju, yang pernah menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, melaporkan kontraksi selama dua kuartal berturut-turut.

Deflasi telah menciptakan kesulitan sangat berkepanjangan bagi Jepang, yang mengalami krisis pasca-credit-boom besar-besaran pada 1990-an. Indeks Harga Konsumen Jepang kemudian turun selama lebih dari dua dekade.

Akibatnya, Jepang terus-menerus mengalami tingkat suku bunga riil positif, meskipun tingkat suku bunga resmi jangka pendek telah mendekati nol atau bahkan nol sejak pertengahan 1990-an.

Tingkat suku bunga jangka panjang telah berada di bawah 2 persen sejak tahun 1999 dan bahkan di bawah 1 persen sejak akhir 2011.

Inilah sebabnya mengapa langkah pertama Abenomics adalah mencapai target inflasi sebesar 2 persen yang disepakati antara pemerintah dan BoJ pada awal 2013.

Kesulitan besar mungkin timbul dalam lingkungan dengan inflasi yang rendah, dibandingkan dalam lingkungan deflasi jika tingkat suku bunga riil keseimbangan turun cukup rendah.

Dengan inflasi sebesar 2 persen, misalnya, tingkat suku bunga riil jangka pendek tidak boleh kurang dari minus 2 persen. Jika kita mengabaikan kemungkinan ekstrem terjadinya suku bunga nominal negatif (yang mungkin terjadi sampai titik tertentu, meskipun sulit untuk diterapkan).

Oleh karena itu, beberapa ekonom berargumen bahwa target inflasi sebesar 2 persen ternyata terlalu rendah pada saat krisis, sehingga dengan tingkat keseimbangan jangka pendek yang mungkin serendah minus 3 persen hingga minus 5 persen di negara-negara yang terkena dampak paling parah, inflasi akan meningkat.

Jika ingin berada pada tingkat keseimbangan, maka harus mendekati 4 persen pada waktu normal sehingga akan mencapai full employment.

Namun jika tidak, pada akhirnya, perekonomian mungkin akan berada dalam kondisi lesu berkelanjutan.

Seperti pendapat John Maynard Keynes, ekonom Inggris yang terkenal, melumpuhkan apa yang disebutnya “animal spirits” dalam bisnis, pada saat tekanan ekonomi berada pada ketidakpastian.

Hal ini kemudian dapat menciptakan spiral yang kejam alias inflasi yang tidak terkendali: investasi yang rendah berarti lemahnya permintaan dan rendahnya pertumbuhan ekonomi, sehingga membenarkan keputusan untuk menunda investasi.

Di dunia pascakrisis, banyak sekali alasan yang membuat masyarakat merasa tidak yakin dan bertindak hati-hati.

Politik populis merupakan salah satu sumber ketidakpastian, terutama di Amerika Serikat dengan bangkitnya “Tea Party” pada 2009 melalui rangkaian protes lokal maupun nasional. Saat itu terjadi permintaan yang lemah dan fluktuatif serta berlanjutnya kerapuhan keuangan.

Oleh karena itu, dampak keseluruhan dari krisis ini adalah melemahnya pasokan dibandingkan dengan tren sebelum krisis, namun yang lebih parah lagi adalah melemahnya permintaan dibandingkan dengan melemahnya pasokan.

Bahayanya adalah periode berkepanjangan yang disebut dengan “resesi neraca”, di mana sektor swasta yang terbebani utang mencoba, atau terpaksa, menurunkan utangnya atau setidaknya tidak mau atau tidak mampu menambah utangnya.

Negara-negara berkembang terbukti jauh lebih tangguh. Hal ini merupakan hasil perbaikan besar dalam kebijakan selama beberapa dekade sebelumnya.

Hal yang paling penting adalah pergerakan menuju posisi eksternal yang lebih kuat, termasuk akumulasi cadangan devisa secara besar-besaran, terutama oleh negara-negara berkembang di Asia, salah satunya Tiongkok.

Memberi mereka ruang untuk meningkatkan permintaan dalam negeri dan dengan cepat kembali menuju ketingkat kesejahteraan, meskipun terjadi krisis.

Negara-negara emerging dan berkembang yang tidak mampu meningkatkan permintaannya sering kali mampu memanfaatkan stimulus negara lain, khususnya Tiongkok.

Hal ini terutama terjadi pada eksportir komoditas, yang mencerminkan pergeseran penting dan mungkin akan bertahan lama dalam perekonomian dunia: perekonomian inti lama menjadi semakin terpinggirkan.

Keberlanjutan kebijakan ekspansif yang diadopsi oleh negara-negara berkembang, sehingga mereka mampu untuk berkembang dan menguasai perekonomian global, sementara negara-negara berpendapatan tinggi masih lemah, dan masih diragukan.

Hal paling penting yang perlu diwaspadai adalah risiko perlambatan tajam perekonomian Tiongkok dan kemungkinan melemahnya harga komoditas.

https://money.kompas.com/read/2024/04/18/075321026/bahaya-inflasi-vs-deflasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke