Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyelisik Perluasan Kebijakan KLM Bank Indonesia, untuk Si(apa)?

Lewat langkah ini, BI berupaya memperluas sektor-sektor prioritas yang ditetapkan, seperti hilirisasi mineral dan batu bara, perumahan, pariwisata, dan lain-lain.

Besaran insentif maksimum ditingkatkan menjadi 4 persen dari sebelumnya 2,8 persen.

Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, BI menangkap sinyal kuatnya permintaan kredit tercermin dari penyaluran kredit korporasi yang tumbuh lebih dari 20 persen.

Dengan melihat perkembangan tersebut, BI berupaya menjaga momentum pertumbuhan kredit dengan kembali memperluas insentif KLM.

Kebijakan ini disambut baik oleh industri perbankan. Mereka optimistis kebijakan ini mampu menjadi jamu manis bagi perekonomian melalui peningkatan jumlah kredit.

Perluasan cakupan kebijakan KLM tersebut meliputi otomotif, perdagangan, listrik, gas, dan air, serta jasa sosial per 1 Juni lalu.

Sebelumnya KLM hanya mencakup sektor hilirisasi minerba, hilirisasi nonminerba, perumahan, dan pariwisata.

Sejalan dengan implementasi kebijakan ini, BI optimistis bahwa kredit akan tumbuh sampai 12 persen di akhir tahun 2024.

Sasaran kebijakan KLM

Seperti telah disebutkan sebelumnya, perluasan insentif KLM mengakomodasi beberapa tujuan besar BI.

Pada aras ini, BI turut mendukung pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan dukungan terhadap sektor-sektor prioritas. Nantinya sektor prioritas akan menjadi booster bagi percepatan ekonomi nasional.

Memang tak dapat dipungkiri, pertumbuhan kredit mampu menjadi indikator geliat dunia usaha. Dengan perluasan penerima insentif KLM terhadap sektor-sektor prioritas, mencuatkan harapan meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi.

Sektor-sektor prioritas tersebut masuk dalam kategori sektor yang memiliki daya ungkit ekonomi tinggi, dan bukan sektor yang berisiko mengalami kredit macet.

Harusnya dengan tambahan insentif ini, maka akan terjadi pertumbuhan pada sektor-sektor tersebut, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan investasi dalam perekonomian.

Dari arah lain, kebijakan ini akan mendorong penguatan likuiditas perbankan. Likuiditas sektor perbankan yang melebihi 25 persen menunjukkan bahwa kebijakan ini efektif dalam memperkuat likuiditas bank, memberikan mereka fleksibilitas lebih besar dalam menyalurkan kredit.

Dengan menjaga likuiditas perbankan yang dibarengi rendahnya tingkat kredit bermasalah akan meningkatkan stabilitas sektor perbankan dan mengurangi risiko kerugian finansial, yang penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.

Sebagai tambahan, ada tujuan implisit lain yang ditunjukkan dari kebijakan perluasan KLM ini. Hal tersebut dilakukan BI sebagai langkah antisipasi kondisi bank di tengah masa ketidakpastian dalam jangka pendek.

BI berupaya menyeimbangkan kebijakan moneter mereka berupa kenaikan suku bunga (BI Rate April lalu sebesar 25 bps di angka 6,25 persen) melalui kebijakan makroprudensial.

Ketika suku bunga dinaikkan, akan terjadi pengetatan likuiditas perbankan yang akan berdampak pada penyaluran kredit mereka, sehingga perluasan kebijakan KLM dapat menjadi penawaran dari ancaman tersebut.

Pada gilirannya kebijakan BI ini nantinya diharapkan dapat berdampak combo pada pertumbuhan ekonomi, sekaligus mampu menjaga likuiditas perbankan dalam masa pengetatan likuiditas akibat kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.

Kualitas penyaluran kredit belum berkualitas

Alih-alih penambahan insentif penyaluran kredit, kenaikan kredit yang ada belum dibarengi dengan penyaluran kredit yang berkualitas. Mengapa demikian?

Faktanya, meski secara keseluruhan penyaluran kredit perbankan April 2024 tumbuh 13,09 persen, tetapi terindikasi tidak mengarah pada kesejahteraan masyarakat sebab tidak meningkatkan pendapatan masyarakat.

Berdasarkan jenis kreditnya, pertumbuhan kredit tersebut terutama ditopang oleh kredit investasi oleh korporasi.

Investasi merupakan alokasi kredit tertinggi dengan pertumbuhan 15,69 persen, disusul dengan kredit modal kerja tumbuh 13,25 persen, dan kredit konsumsi 10,34 persen.

Mengarus pada kondisi pertumbuhan kredit selama empat bulan terakhir ini, sebenarnya target pertumbuhan kredit sebesar 9-11 persen pada 2024 dapat tercapai. Namun perlu diperhatikan, kemana kredit tersebut disalurkan.

Ekonom senior Indef mengatakan, pertumbuhan kredit tersebut belum berkualitas karena kurang disalurkan ke sektor-sektor yang padat tenaga kerja. Kredit terbesar yang tidak menyerap tenaga kerja sehingga penambahan kredit tidak menambah lapangan kerja.

Misalkan, UMKM sebagai sektor penyerapan tenaga kerja terbesar, penyaluran kredit ke UMKM tidak mengalami kenaikan signifikan sejak 5 tahun terakhir.

Penyaluran kredit dari bank umum ke UMKM pada tahun 2019 saja sebesar 19,55 persen, tidak jauh berbeda di 2024 sekitar 20,05 persen.

Ini menandaskan bahwa porsi peningkatan penyaluran pertumbuhan kredit ke sektor ini tidak cukup besar.

Artinya, ke depan adanya peningkatan insentif kredit tidak banyak dinikmati oleh sektor UMKM. Hal ini diperkuat dengan penyaluran kredit dari klasifikasi debitor, kredit korporasi tumbuh tertinggi sebesar 18,45 persen, diikuti kredit konsumsi dan UMKM yang tumbuh 7,3 persen. Porsi UMKM masih kecil dibandingkan dengan kredit koorporasi.

Menanggapi hal ini, BI harus hati-hati dengan arah insentif yang diberikan. Ke depan, bukan hanya kuantitas penyaluran kredit yang meningkat, tetapi juga dibarengi dengan peningkatan kualitas dari penyaluran kredit tersebut.

Harapannya, bukan hanya ekonomi yang tumbuh pesat, tetapi kesejahteraan masyarakat juga meningkat seiring dengan keadilan dari penyaluran kredit bagi semua sektor.

https://money.kompas.com/read/2024/06/12/100512226/menyelisik-perluasan-kebijakan-klm-bank-indonesia-untuk-siapa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke