Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CLBK Keluarga Soeryadjaya dengan Perbankan

Kompas.com - 23/01/2009, 13:46 WIB

JAKARTA, JUMAT — Rupanya keluarga Soeryadjaya tengah dilanda CLBK, alias “cinta lama bersemi kembali” dengan bisnis perbankan. Setelah gagal menyelamatkan Bank Summa dari cengkeraman pailit, kini, 16 tahun kemudian, keluarga taipan itu berniat masuk lagi ke ranah bisnis perbankan Tanah Air.

Mereka akan mengakuisisi 99 persen saham Bank Indonesia Finance and Investment Company (IFI) milik pengusaha Bambang Rachmadi, yang ada di PT Ramako Media Promosindo. Kabarnya, keluarga Soeryadjaya akan berkongsi dengan Sabar Ganda Sitorus, pengusaha Sumatera Utara.

Begitu kabar tersebut beredar, langsung banyak pertanyaan menyeruak. Pertanyaan utama tentu latar belakang ketertarikan keluarga Soeryadjaya untuk kembali masuk bisnis perbankan. Apakah mereka tidak trauma dengan kegagalan Bank Summa? Lalu, mengapa mereka memilih mengakuisisi Bank IFI?

Bank IFI termasuk salah satu bank yang kinerjanya cukup memprihatinkan. Per semester I-2008, porsi kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) IFI mencapai 23 persen. Jumlah itu naik drastis dari periode sama tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1,60 persen. Gara-garanya ada kredit macet Grup Texmaco di bukunya. IFI juga terus merugi. Per September 2008, bank ini masih mencatat kerugian tahun berjalan sebesar Rp 24,32 miliar.

Namun, rupanya, bagi wangsa Soeryadjaya, jerawat di wajah tak mampu menutupi inner beauty IFI. Bank ini ibarat seorang dara cantik yang pantas dinikahi. “IFI sangat menjanjikan,” beber Edward Soeryadjaya, putra sulung William Soeryadjaya yang kini menggantikan posisi William dalam mengelola dinasti bisnis keluarga Soeryadjaya.

Menurutnya, IFI bagus dan punya prospek besar karena punya lini bisnis lengkap. Posisi IFI di sektor ritel dan usaha kecil menengah juga menjanjikan. Agaknya, sebagai seorang pengusaha mumpuni Edward bisa melihat potensi dan peluang IFI meski kondisinya kini tengah kembang kempis. Dia yakin kinerja IFI bisa dibenahi. Karena itu, sebagai juragan anyar dia berniat terus mengembangkan unit-unit usaha milik IFI saat ini.

Sayang, Edward tidak bersedia menjelaskan detail proses akuisisi yang sedang mereka tempuh, termasuk harga akuisisinya. “Kami memang sudah negosiasi soal IFI. Kapan deal-nya, silakan tanya pihak direksi,” katanya.

Direktur Bank IFI Agus Suyanto mengatakan, saat ini pihaknya tengah menjalankan proses penyelesaian legal dan administrasi di Bank Indonesia (BI). Harapannya, dalam sebulan proses administrasi ini bisa selesai. “Tapi semuanya tentu tergantung BI,” kata dia.

Sama seperti Edward, Agus juga enggan menjelaskan detail serta harga akuisisi nanti. Ia hanya menjelaskan bahwa akuisisi ini sifatnya menyeluruh. Agus pun menepis kabar yang mengatakan bahwa nilai akuisisi itu mencapai Rp 100 miliar. “Kami tidak pernah beri pernyataan soal harga,” kata Agus.

Khawatir tragedi Summa terulang kembali

Di balik serunya berita tentang masuknya klan Soeryadjaya ke IFI, berembus beberapa selentingan miring. Seorang praktisi perbankan mempertanyakan status keluarga Soeryadjaya. “Apakah dulu mereka tidak masuk black list BI ketika menjalankan Bank Summa hingga pailit?” tanya dia.

Maklum, kasus Bank Summa dulu memang tidak main-main. Bank ini bangkrut antara lain karena kalah kliring akibat tidak sanggup mencairkan commercial paper, promes, dan surat utang lain yang dijamin Summa senilai Rp 70 miliar. Kasus ini hampir mirip dengan pengalaman Bank Century beberapa waktu lalu.

Saat itu Summa juga memiliki kredit macet dan utang, masing-masing senilai Rp 1,2 triliun dan Rp 500 miliar. Memang, pada akhirnya saat itu William melunasi semua kewajibannya dengan cara menjual kepemilikan sahamnya di PT Astra International Tbk. Tapi, kejadian di masa lalu itu tentu juga bukti bahwa keluarga Soeryadjaya pernah gagal mengelola sebuah bank.

Walaupun begitu, tampaknya BI tenang-tenang saja. “Sampai saat ini semua sesuai prinsip BI. Setahu saya, mereka tinggal penyelesaian teknis dan administrasi saja,” ujar Budi Armanto, Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP) BI.

Edward pun menegaskan bahwa ia menjalankan prosedur biasa, sama seperti dengan prosedur akuisisi pada umumnya. Artinya, tak ada persyaratan-persyaratan khusus yang diminta BI. Bila tak ada halangan, menurut Budi, proses akuisisi bisa selesai dalam sebulan ke depan. Yang pasti, kedua belah pihak, yakni keluarga Soeryadjaya dan Sabar Ganda Sitorus, harus mengikuti tes kelayakan atau fit & proper test dulu di DPIP BI.

Dalam fit & proper test itulah mereka akan ditanya perihal harga jual dan rencana membesarkan IFI pasca-akuisisi. “Hitung-hitungan dan kesepakatan itu antarmereka. Kami tidak ikut-ikutan menentukan harga,” tambah Budi.

Sementara itu, manajemen IFI sudah memiliki beberapa agenda pasca-akuisisi. Pertama, meningkatkan permodalan. Sesuai ketentuan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), bank-bank harus memiliki modal minimum Rp 100 miliar per 2010. Sampai September 2008, posisi modal inti IFI baru Rp 84,22 miliar.

Rencana kedua yang juga harus segera mereka rampungkan adalah menyusutkan kembali angka NPL yang tinggi. Selain menagih nasabah, mereka juga harus siap sedia memakai dana pencadangan. “Kami juga akan tetap fokus di sektor UKM atau micro financing,” papar Agus. Ini salah satu strategi IFI dalam menghadapi likuiditas ketat tahun 2009.

Pengamat perbankan David Sumual menilai, masuknya Soeryadjaya ke Bank IFI baik-baik saja. “Selama mereka punya dana dan komitmen, mengapa tidak? Toh, sebelumnya mereka sudah memiliki pengalaman di bidang ini,” katanya. (Kontan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com