Bisa beragam
Pengamat pajak, Danny Septriadi, mengatakan, stimulus pembebasan PPh karyawan hanya bisa efektif menambah pendapatan pekerja jika perusahaan menerapkan metode kotor (gross method) dalam pembayaran pajak karyawannya. Insentif ini tidak akan efektif jika diterapkan pada perusahaan yang menerapkan metode pajak ditanggung perusahaan dan metode gross up atau tunjangan pajak dari perusahaan.
Sebagai ilustrasi, karyawan yang mendapatkan gaji Rp 2 juta per bulan akan terkena PPh dengan tarif 5 persen senilai Rp 100.000. Dengan metode kotor, karyawan akan langsung dipotong Rp 100.000 oleh perusahaan untuk membayar PPh sehingga penghasilan bersihnya tinggal Rp 1.900.000 per bulan. Jika insentif PPh karyawan diterapkan, karyawan pada perusahaan ini akan menerima manfaat karena penghasilannya akan bulat menjadi Rp 2 juta per bulan.
Namun, jika perusahaan itu menerapkan metode pajak ditanggung perusahaan, karyawan akan tetap menerima gaji Rp 2 juta, sedangkan beban PPh-nya akan langsung ditutup perusahaan senilai Rp 100.000.
Adapun pada perusahaan yang menetapkan metode gross up (tunjangan pajak), karyawan akan menerima gaji penuh Rp 2 juta, sedangkan PPh-nya dibayar oleh tunjangan pajak senilai Rp 105.263. Tunjangan pajak ini akan dibebani PPh lagi. Dengan demikian, manfaat insentif PPh karyawan akan diterima perusahaan berupa penghematan PPh karyawan dan PPh atas tunjangan pajak.
Di atas PTKP
Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, konsep penguatan daya beli melalui PPh karyawan bisa saja efektif, tetapi tidak pada semua pekerja. Insentif itu hanya bisa dinikmati pekerja yang sudah memiliki pendapatan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yakni di atas Rp 15,8 juta per tahun.
”Masalahnya, pekerja di kelompok industri padat karya justru tidak memiliki pendapatan yang masuk ke PTKP. Niat untuk meningkatkan daya beli pada penduduk yang berjumlah 230 juta hanya dengan Rp 6,5 triliun rasanya tidak signifikan,” ujarnya.