KOMPAS.com - Udara pukul 04.00 di Singapura dingin menyentuh kulit Min. Jantungnya berdegup kencang. Semua penghuni flat di lantai 5 itu masih lelap. Tekadnya bulat.
”Cepat sampai... cepat sampai...,” batin Min, tak menghitung sudah berapa lantai terlalui. Belum lagi kaki menjejak tanah, tiba-tiba kain terputus! Tubuhnya, bruukk...! menghantam tanah. Sakit seluruh badan Min, tetapi hatinya merasa bebas. Flat seluas 48 meter persegi itu menjadi ”penjara” selama empat bulan terakhir.
Di tempat tidur susun penampungan tenaga kerja Indonesia (TKI) Kedutaan Besar RI di Singapura, kini Min berbaring. Sudah dua pekan lamanya.
Ketika ditemui, kaki kanan gadis bertubuh kecil itu berbalut gips dari dengkul sampai mata kaki. Pada tangan kirinya terdapat 12 jahitan. Sebuah buku berjudul Akhlak Mulia dan majalah spiritual menemaninya.
”Sehabis jatuh, kaki sakit sekali, tetapi masih bisa diseret berjalan. Saya stop taksi minta diantar ke embasi (kedutaan). Hanya ada pakaian yang melekat di badan, tanpa uang sepeser pun. Untung tukang taksi tidak mau dibayar,” ujarnya.
Min kabur karena majikannya suka memaki. Semua pekerjaannya salah di mata sang majikan. Dia juga tidak diperbolehkan keluar flat.
Perempuan pemberani itu tidak pernah menyangka niatnya bekerja di negeri orang demi membantu keluarga di kampung malah berujung petaka.
Min bukan orang pertama yang berbuat nekat demi bebas dari perlakuan tidak adil dan menyakitkan dari majikan. Sus—aslinya berusia 19 tahun, tetapi di paspor diubah menjadi 25 tahun—sudah hampir dua tahun ini tinggal di penampungan.
Suatu pagi sekitar pukul 06.00, Sus keluar lewat jendela flat di lantai lima. Tanpa seutas tali pun, dirayapinya bibir jendela. Berhasil!
Dia kemudian lari ke sebuah masjid di kawasan Pasir Ris. Seorang warga Singapura lalu mengantar Sus ke kedutaan. Sus sering mendapatkan pukulan di badan, muka, dan tangan. Ketika tiba di kedutaan, gadis asal
Setelah aksinya, tinggallah Sus berurusan dengan proses hukum panjang dan melelahkan. Gadis berpendidikan SMP itu tidak ingat lagi berapa sidang yang sudah dihadiri. Sidang pertama yang paling membekas. ”Semula takut ketemu bekas majikan. Tapi, saya lihat dia biasa aja. Kayak orang yang tidak pernah ngapa-ngapain,” ujarnya.
First Secretary Protocol and Consular Affair KBRI Fahmi Aris Innayah mencatat, sekitar 1.400 TKI datang dan pergi dalam setahun di penampungan. Saat ini ada sekitar 120 TKI yang tinggal di penampungan. Di sana, mereka mendapatkan tempat berteduh dan bahan makanan yang dimasak secara bergiliran oleh para TKI.
Kasus yang menimpa para TKI beragam, tidak hanya kasus kekerasan verbal dan fisik. Penempatan, kontrak, pembayaran upah, dan gegar budaya menjadi permasalahan umum. Sebagian TKI, misalnya, tidak memegang paspor dan work permit mereka. Dua dokumen penting untuk melindungi diri saat di negeri orang itu dipegang agensi.
Suminah (29), TKI asal Cilacap, mengalami persoalan penempatan, kontrak, dan pembayaran upah sekaligus. Ia tiga kali berganti majikan dalam tujuh bulan. Jangankan mendapatkan upah, utang kepada agensi malah bertambah. Perjanjian dengan agensi, Suminah membayar biaya pemberangkatannya ke Singapura dengan pemotongan gaji selama delapan bulan. Gajinya per bulan 330 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,5 juta dipotong 320 dollar Singapura sehingga tersisa 10 dollar Singapura atau Rp 75.000.
Persoalannya, setiap ganti majikan akan dihitung agensi sebagai tambahan dua bulan potongan. Majikan pertamanya mengembalikan Suminah ke agensi lantaran kurang pandai berbahasa Inggris. Di tempat berikutnya, Suminah harus bekerja di dua rumah dan majikan menolak membuat kontrak. Dia tidak mendapatkan pula 10 dollar Singapura haknya.
Fahmi mengungkapkan, lama penyelesaian kasus bervariasi bergantung dari beratnya. ”Kami mempertemukan majikan dan tenaga kerja secepatnya dan berupaya memediasi,” ujarnya.
Bagi TKI yang tertimpa masalah, pilihannya kembali ke Tanah Air, majikan, atau agen. Drama-drama itu diupayakan berakhir bahagia bagi TKI.
KBRI mau tak mau menjadi ”pemadam kebakaran” persoalan karut-marutnya pengiriman TKI. Di Singapura, total jumlah penata laksana rumah tangga 150.000 orang, 85.000 orang di antaranya dari Indonesia, selebihnya Filipina dan Myanmar.
Duta Besar Indonesia untuk Singapura Wardana prihatin dengan nasib para TKI. Jika perekrutan, persiapan, penempatan, dan kontrak telah baik, TKI tidak bergantung pada keberuntungan mendapatkan majikan baik. Masalah pun terhindari.
”Bagi kami, yang terpenting memfasilitasi dan membekali para TKI agar berdaya,” ujarnya.
Selain penampungan, ada juga pelayanan konsuler perpanjangan kontrak kerja. Ruangan itu ramai oleh warga Singapura bersama penata laksana rumah tangga dari Indonesia yang sedang membuat kontrak. Mereka didampingi staf KBRI. ”Prinsipnya, kedua pihak tahu hak dan kewajiban. Gaji harus terus naik,” ujar Wardana.
Didirikan pula Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kerja Penata Laksana Rumah Tangga Rumah Indonesia. Terbuka kursus bahasa asing, komputer, hingga kecantikan. ”Harusnya bukan fungsi kami, melainkan urusan dalam negeri. Namun, potensi TKI cukup bagus untuk dikembangkan,” ujar Wardana.
Min ingin pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Min dan ”kartini-kartini” lain berjuang untuk keluarga mereka di Tanah Air. Namun, mereka belum beruntung di Singapura.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.