Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Pengelolaan Utang Segera Diajukan

Kompas.com - 30/06/2009, 19:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — DPR meminta pemerintah segera mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Utang Pemerintah sebab regulasi pengelolaan dan pemanfaatan utang saat ini dinilai sudah kurang mampu mengakomodasi permasalahan utang pemerintah.

Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI Rama Pratama di Jakarta, Selasa, menyatakan, salah satu kelemahan dalam pengelolaan utang pemerintah saat ini adalah tidak adanya regulasi yang betul-betul komprehensif, tegas, dan terintegrasi dalam pengaturannya.

Saat ini, regulasi yang betul-betul mengatur penataan utang pemerintah adalah setingkat Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP Nomor 2/2006 tentang pencatatan dan penerimaan utang dan hibah luar negeri.

"Sementara PP Nomor 2/2006 ini tidak mengatur (selengkap) yang diharapkan. Ini yang membuat RUU luar negeri yang ada di Departemen Keuangan kontekstual kembali. Ini yang harusnya disodorkan pemerintah. Ini juga harusnya menjadi inisiatif DPR selanjutnya, tentang bagaimana sebetulnya mekanisme persetujuan utang dari parlemen," katanya.

Menurut Rama, regulasi setingkat UU memungkinkan utang yang ditarik pemerintah dilakukan dengan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan lebih jelas, terlebih lagi komposisi utang pemerintah juga mulai banyak ditutup oleh utang luar negeri seperti melalui pinjaman dana siaga (standby loan).

Baik pemerintah maupun parlemen, lanjutnya, mulanya menilai tidak relevan lagi keberadaan RUU Utang menyusul komposisi banyak didominasi utang dalam negeri.

"Namun dengan krisis global yang mendorong utang luar negeri, itu menempatkan kembali signifikansi RUU ini yang mengatur secara luas mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan utang dibanding hanya PP yang lebih banyak mengatur soal-soal administratif," katanya.

Selain regulasi yang lebih tegas, pemerintah juga disarankan membentuk lembaga pengelolaan utang (debt management office) yang terintegrasi untuk mengatasi masalah daya serap utang, dan temuan-temuan biaya komitmen, lembaga ini juga diharapkan meningkatkan kelengkapan pencatatan utang pemerintah.

Selama ini, selain masih adanya masalah di sisi penyerapan, pencatatan utang dan hibah luar negeri pemerintah juga masih berbeda antara Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan Bappenas.

"Sedangkan sumber dayanya bisa diambil dari Departemen Keuangan, Bappenas, dan BI, sehingga risiko-risiko di sisi keseimbangan primer juga bisa diantisipasi," katanya.

Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengakui, pemerintah sebelumnya sudah menyiapkan RUU pengaturan dan pengelolaan utang, tetapi pengajuan kembali RUU masih harus didasarkan pertimbangan signifikansinya.

Pemerintah selama ini telah mengupayakan pengaturan pengelolaan utang, salah satunya melalui PP 6/2006 dan Peraturan Menteri Bappenas Nomor 5/2006 tentang Pengelolaan Hibah.

Melalui regulasi ini, menurut Paskah, pengusulan PHLN lewat satu pintu yaitu kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas, memenuhi penilaian administrasi, teknis, dan kapasitas pendanaan. Juga harus memenuhi kriteria kesiapan.

"Kalau dulu surat pinjaman luar negeri terkadang hanya ditandatangani Kasub Direktorat, tapi sekarang dengan PP Nomor 2, harus ditandatangani menteri di tingkat departemen, dirut di tingkat BUMN, atau gubernur di tingkat daerah," katanya.

Menurut dia, dari sisi pendayagunaan utang, Bappenas juga telah melakukan pemantauan pelaksanaan pendanaan. Dalam hal ini, Menteri PPN punya tugas monitoring dan evaluasi berkala untuk diambil tindaklanjut kalau ada masalah di sisi penyerapan.

Hasil pemantauan jadi dasar identifikasi dana yang tidak termanfaat (potential loan surplus) akibat perubahan desain, sisa dana akibat perubahan kurs tetapi bila tidak termanfaatkan bisa diusulkan dibatalkan.

"Ini dapat diusulkan Bappenas ke Departemen Keuangan. Selain itu, juga dilakukan pembatalan pinjaman pada proyek yang rendah penyerapannya untuk mengurangi beban keuangan negara," katanya.

Untuk menghindari kepentingan debitor dan penyesuaian pemanfaatan dana utang, pemerintah telah mengimplementasikan Jakarta Commitment yang wajib ditandatangani debitor.

"Intinya, pendanaan mereka dalam bentuk utang maupun hibah harus sejalan dengan arah pembangunan, kesepakatan membangun kemitraan efektif, dan bersama-sama memantau capaian keberhasilan proyek yang didanai," tuturnya.

Berdasar catatan Bappenas, hingga saat ini terdapat 177 pinjaman utang luar negeri yang masih berjalan (on going) dengan rincian, 167 pinjaman proyek dan 10 pinjaman program dengan sumber Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan beberapa sumber bilateral.

Total nilai utang luar negeri outstanding mencapai Rp 732 triliun, lebih rendah dibanding surat berharga negara Rp 968 triliun dari total utang berjalan Rp 1.700 triliun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com