Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Utang RI Sudah Membahayakan?

Kompas.com - 13/07/2009, 06:07 WIB

Oleh Purbaya Yudhi Sadewa

KOMPAS.com — Masalah utang pemerintah kembali mengemuka akhir-akhir ini. Isu ini bahkan menjadi topik yang cukup hangat dalam perdebatan calon presiden yang lalu. Apakah kita perlu terus berutang, dan apakah utang kita saat ini sudah pada level yang membahayakan kesinambungan fiskal kita?

Menurut Departemen Keuangan, total utang Pemerintah Indonesia (domestik dan asing) pada tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp 1.700 triliun. Tahun 2004, total utang kita baru Rp 1.299 triliun. Jadi, dalam lima tahun terakhir, total utang Pemerintah Indonesia naik sekitar Rp 401 triliun.

Angka pertumbuhan utang yang ”besar” ini menjadi sasaran empuk pada masa kampanye lalu. Sering disebutkan bahwa keadaan utang kita sudah membahayakan. Anggapan ini membuat sebagian kalangan menjadi kreatif menawarkan alternatif pemecahan masalah utang tersebut. Salah satu alternatif yang ekstrem adalah penjadwalan kembali utang kita.

Alasan berutang

Berutang bukanlah hal yang tabu bagi suatu negara. Hampir semua negara saat ini mempunyai utang. Utang kadang kala diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara ketika ekonomi melambat, saat negara itu mengalami resesi, atau untuk menutup kekurangan pembiayaan anggaran ketika sumber pendapatan dari dalam negeri bermasalah akibat keadaan ekonomi yang buruk.

Selain itu, banyak negara di dunia menerbitkan utang untuk membangun proyek infrastruktur besar, yang justru membuat swasta sulit diharapkan terlibat. Sering kali, keuntungan secara komersial dari investasi semacam ini kecil. Namun, dampak realisasi investasi ini, baik terhadap kesejahteraan masyarakat, keuntungan pelaku bisnis secara tidak langsung, maupun keadaan perekonomian secara keseluruhan, cukup besar.

Beberapa negara bahkan menerbitkan surat utang untuk membiayai kegiatan perangnya. Pemerintah AS, misalnya, menerbitkan surat utang dalam jumlah cukup besar untuk membiayai pasukannya dalam Perang Dunia II. Utang Pemerintah AS naik dari 59 miliar dollar AS tahun 1940 menjadi sekitar 260 miliar dollar AS setelah perang. Pemerintah Australia pun menerbitkan utang untuk membiayai keterlibatannya pada Perang Dunia I dan II.

Untuk Indonesia, kenaikan utang yang signifikan terjadi setelah krisis 1997-1998. Kenaikan ini guna membiayai BLBI, baik untuk menyelamatkan perbankan, maupun untuk merekapitalisasi dunia perbankan kita. Pada saat yang bersamaan, pelemahan rupiah juga membuat utang luar negeri kita dalam rupiah menjadi berlipat-lipat dalam waktu singkat. Akibat krisis tadi, utang pemerintah naik dari Rp 129 triliun tahun 1996 menjadi Rp 1.234 triliun tahun 2000. Naik hampir 10 kali lipat.

Level utang kita sempat relatif stabil pada periode 2000-2006. Namun, mulai tahun 2007, level utang mulai beranjak naik lagi. Kenaikan ini berkaitan dengan ekspansi kebijakan fiskal, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maupun untuk membiayai subsidi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri tahun 2008.

Kemudian, untuk tahun 2009, kenaikan lebih disebabkan stimulus fiskal yang diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Walaupun mahal, langkah ini memang diperlukan untuk mencegah perekonomian kita tidak terpuruk terlalu dalam seperti negara-negara tetangga kita.

Masih berkesinambungan

Dengan utang yang tinggi ini, timbul pertanyaan mengenai kesinambungan kebijakan fiskal kita. Bila investor (baik domestik maupun asing) menganggap utang sudah membahayakan keadaan fiskal kita, tentunya mereka akan segera melepas surat-surat utang dan segera hengkang dari pasar utang pemerintah kita. Sebagian akan melarikan uangnya ke luar negeri dan rupiah pun akan terpuruk. Dampak yang lebih buruk lagi adalah, baik pemerintah, maupun swasta, menjadi kesulitan melakukan pinjaman, baik dalam negeri, maupun luar negeri. Akibatnya, pembiayaan APBN menjadi sulit dan pembangunan perekonomian pun akan terganggu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com