KOMPAS.com — Sahabat baik tidak selamanya harus dibela mati-matian. Dalam hal tertentu, seorang sahabat harus berani menyatakan sesuatu yang pahit. Akhir Desember 2002, pemutusan hubungan kerja ternyata bukan harga mati bagi Gershon Prasetya (39) untuk bangkit menggarap sablon kaus kecil-kecilan dengan penuh kegembiraan.
Sambil menirukan pesan sahabatnya, Gershon mengatakan, ”Gershon, saya terpaksa mem-PHK kamu. Ini pilihan berat. Aku harus relakan kamu keluar. Kalau kamu tetap di perusahaan ini, kamu tidak akan berkembang.”
Sebelumnya, dia bekerja di perusahaan importir elektronik. Gershon dikenai PHK karena perusahaan tersebut tiba-tiba bangkrut. Meski berbagai biaya operasional sudah dikurangi, langkah PHK tak bisa dihindari.
Dengan satu bulan gaji hasil PHK, Gershon memulai ”hidup baru” bersama istrinya. Di tengah kegamangan setelah dikenai PHK, Gershon mendapatkan sebuah nasihat, ”Kerjakan dari apa yang ada padamu”.
Akan tetapi, dia dalam hatinya balik bertanya, ”Apa yang ada pada kami? Istri saya hanya sekadar memberikan les privat,” ujar Gherson.
Namun, pada suatu waktu Suliani tiba-tiba mendapatkan order tas ransel sablonan. Sementara Gershon yang pernah menjadi subdistributor Semen Gresik memberanikan diri untuk mencari order di pabrik semen itu. Rupanya, pabrik semen itu membutuhkan kaus sablon yang diproduksi Gershon.
Karena tidak memiliki latar belakang usaha pembuatan kaus, Gershon diajak kerja sama dengan temannya yang memiliki perusahaan teknologi informasi.
Tahun 2003, Gershon diminta memanfaatkan ruang usaha di kawasan Sudirman, Jakarta. Namun, setiap mendapatkan order, pembagian keuntungannya hanya 35 persen, sedangkan selebihnya, yakni 65 persen, harus diberikan kepada rekanannya.
”Waktu itu, saya mau saja. Saya enggak punya modal sama sekali untuk buka kantor di Jakarta,” kata Gershon, yang kini sudah membuka kantor pemasaran di daerah lain di Jakarta.