Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sono, Pencuci Piring Jadi Juragan RM Padang

Kompas.com - 13/08/2009, 18:25 WIB

Lantaran mempercayakan usahanya ke keponakan yang belum berpengalaman, tak sampai setahun, usaha rumah makan padang Sono bangkrut. Sono dan Yatmi pun memutuskan pulang kampung ke Nganjuk selama enam bulan. Di sana juga, putra pertama mereka lahir.

Tak kuat menganggur, Sono dan Yatmi balik lagi ke Jakarta, bekerja sebagai buruh cuci dan buruh masak di rumah makan padang yang baru. “Waktu itu, gaji saya Rp 7.500 per hari, sementara istri dua kali lipatnya,” kenang sono.

Tak patah arang

Keinginan untuk mengubah nasib mendorong Sono dan istrinya kembali datang ke Jakarta. Dengan modal pinjaman, Sono mengawali kebangkitannya dengan mengakuisisi usaha mie ayam milik sang teman.

Setelah pulang kampung ke Nganjuk, Jawa Timur, karena usaha rumah makan padangnya bangkrut, Sono dan istri kembali datang ke Jakarta. Di ibukota, ia kembali meniti hidup sebagai buruh cuci dan buruh masak di sebuah rumah makan padang di kawasan Blok M. Setelah tujuh tahun mereka melakoni profesi itu, pada 1999, kesempatan untuk mengubah nasib itu akhirnya datang juga.

Waktu itu, Indonesia sedang mengalami krisis moneter. Salah satu teman Sono, yang berjualan mie ayam di kawasan Melawai, bangkrut. Sang teman lalu menawarkan dua gerobak, peralatan pembuatan mie ayam, bangku buat duduk pembeli, serta semua mangkuk dan sumpit kepada Sono.

Semuanya dihargai Rp 700.000. Sono langsung menyambar kesempatan ini. Karena tabungannya hanya Rp 300.000, ia lalu berutang. Setelah proses akuisisi selesai, muncul persoalan berikutnya: ia tak mempunyai modal untuk memulai bisnis mie ayam.

Yatmi, sang istri, tak kehilangan akal. Dengan modal Rp 50.000, ia membeli jagung, kacang, ubi dan pisang yang kemudian ia olah menjadi aneka makanan. Selama tiga hari, sang istri nyambi berjualan makanan sembari menjalani rutinitas sebagai buruh masak. Hasilnya, uang Rp 50.000 itu berbiak menjadi Rp 150.000.

Dari duit inilah mereka mulai berjualan mie ayam. “Saya sampai ingat harinya. Tanggal 23 bulan 10 tahun 99,” ujar bapak tiga anak ini penuh haru. Ternyata, dagangan Sono laku keras. Bumbu mie ayam buatan Yatmi benar-benar cocok dengan selera para pekerja di sekitar Melawai. “Jualan pertama, omzet saya hanya Rp 73.000 per hari. Lama kelamaan naik jadi Rp 200.000 per hari,” ujarnya.

Dari hasil jualan mie ayam, Yatmi dan Sono mengembangkan bisnis baru. Mereka lalu bisnis nasi gulai dan lagi-lagi laku keras. Setelah gulai, mereka mulai menambah menu masakan padang. “Mulanya hanya sepotong-sepotong, lama-lama banyak juga,” ujar Sono. Dengan tambahan nasi gulai dan nasi padang, omzet Sono naik jadi Rp 500.000 per hari. Keadaan ini berlangsung sampai setahun kemudian.

Pada 2000, semua pedagang kaki lima di kawasan Blok M, terutama di sekitar Melawai, diharuskan membeli kios. Waktu itu harga kios Rp 21,160 juta. Karena tabungannya hanya Rp 1 juta saja, Sono mengajukan pinjaman ke PD Pasar Jaya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com