Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ibu Saya Bukan Teman Facebook Saya

Kompas.com - 30/09/2009, 09:43 WIB

Steve Jones, seorang professor ilmu komunikasi di Chicago, mengatakan bahwa selama ini ada pemikiran yang salah. Di dunia online terlihat betul bahwa orang-orang cenderung menjauhkan apa-apa yang sifatnya pribadi bukan ke mereka yang tak dikenal, tapi justru kepada orang yang mereka kenal dekat. Artinya mereka tidak peduli apakah yang mereka share di dunia online itu dilihat oleh orang-orang umum. Tapi mereka sangat peduli ketika hal-hal yang sifatnya private justru dilihat oleh orang yang mereka kenal dekat.

Apa yang dibilang oleh Steve Jones mungkin ada benarnya. Situs jejaring sosial yang bermunculan sampai sekarang yang pasti telah membuat kata "teman" jadi lebih blur. Di dunia online seperti ini, orang asing (strangers) kita anggap teman, sedangkan dengan teman yang notabenenya adalah teman kita sebenarnya atau orang yang kita kenal dekat, justru kita malah berinteraksi dengan canggung.

Pertanyaan confirm or ignore yang dilematis ini tidak hanya dirasakan oleh anak-anak ketika mendapat friend request dari para orang tua di rumah. Di kantor pun fenomena yang sama juga dirasakan oleh para karyawan ketika ingin ‘berteman’ dengan boss-nya. Jared Sandberg menulis hal ini di artikel berjudul “OMG -- My Boss Wants to 'Friend' Me On My Online Profile” yang dimuat di harian Wall Street Journal.

Seperti yang ditulis di sana, dengan adanya Facebook, hubungan yang hirarkis antara atasan dan bawahan di dunia offline, mendadak terlihat horizontal di dunia online. Dan pada akhirnya sisi pribadi sesungguhnya dari boss dan karyawan jadi terlihat betul. Meskipun demikian banyak karyawan yang tidak rela untuk berteman dengan boss-nya di Facebook, karena itu tandanya ia harus mengorbankan segala bentuk hal yang sifatnya personal. Begitu juga sebaliknya dengan si boss ketika di add sebagai teman di Facebook oleh anak buahnya.

Confirming the Community

Satu yang dapat dijadikan alasan kenapa fenomena yang diceritakan di atas terjadi adalah karena pada dasarnya karakter si ibu tidak relevan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang miliki oleh komunitasnya si anak. Meskipun sama-sama ‘on’ di dunia Facebook, bukan berarti para orang tua bisa ‘in’ ke dunia komunitas jejaring sosial anaknya. Karena untuk masuk ke sana, diperlukan karakter yang sejalan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang dijunjung tunggi  oleh komunitas anaknya.

Dulu di era legacy, aktivitas targeting the segment menjadi langkah strategi yang menentukan gerak-gerik arah pemasaran suatu perusahaan. Di sana konsumen yang menjadi target pasar dieksploitasi oleh pemasar lewat 4P-nya (product, price, place, and promotion). Dan itu semua dilakukan tanpa peduli, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, selama konsumen menjadi target market sebuah perusahaan, konsumen akan menerima bentuk eksploitasi tersebut.

Di era New Wave ini, praktek yang demikian menjadi tidak lagi relevan. Sejalan dengan apa yang dibahas kemarin, kita tidak lagi berbicara tentang targeting the segment namun confirming the community. Karena di era pemasaran seperti ini, orientasi pemasaran berbasiskan komunitas konsumen yang saling kenal bukan lagi segmen konsumen yang tidak kenal satu sama lain. Praktek yang dilakukan dalam rangka konfirmasi terhadap (dan oleh) komunitas ini sendiri bernuansakan horisontal, karena pada dasarnya langkah ini dijalankan dua arah.

Bukan saja perusahaan yang mengkonfirm sebuah komunitas karena kemiripannya dengan karakter merek perusahaan, namun juga si komunitas sendiri harus mengkonfirm bahwa perusahaan yang ingin masuk ke dalam komunitas tersebut adalah ‘teman’ yang baik. 

Hal yang terpenting yang harus dilakukan oleh pemasar dalam hal ini adalah mencari relevansi antara komunitas dan perusahaan. Percuma saja kalau sebuah komunitas jumlah anggotanya banyak, pertumbuhan jumlah anggotanya juga terus meningkat. Namun, ternyata komunitas tersebut tidak punya relevansi yang sama dengan kita alias tidak punya identitas dan nilai-nilai yang sama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com