Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada, Imaji Iklan, dan Politik Pencitraan

Kompas.com - 17/04/2010, 15:46 WIB

Oleh Mohammad Takdir Ilahi

Sebentar lagi, Komisi Pemilihan Umum DIY menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di tiga kabupaten, yakni Sleman, Gunung Kidul, dan Bantul. Berbagai persiapan dilakukan guna menyukseskan pilkada, terutama masalah keamanan yang sangat rawan dan jadwal kampanye pada 6-19 Mei. Dari sekian calon bupati-wakil bupati yang terdaftar, Sleman memiliki jumlah calon bupati dan wakil bupati paling banyak, yakni tujuh pasangan.

Masyarakat DIY dari tiga kabupaten itu memang menginginkan pemimpin baru (new leader) yang diharapkan mampu mewujudkan cita-cita luhur warga ke arah perubahan dan kemajuan yang signifikan. Harapan terhadap pemimpin baru menjadi keniscayaan demi terbangunnya kepemimpinan ideal yang bisa meneruskan estafet kepemimpinan yang akuntabel dan bertanggung jawab. Apalagi kalau pemimpin baru itu memiliki visi dan misi yang jelas dan mampu melaksanakan janji politik ketika masa kampanye.

Sebelum pilkada, para elite politik mulai mempersiapkan diri menghadapi derasnya suhu politik yang tidak sehat. Sudah menjadi hal lazim, ketika proses kampanye, partai politik berupaya mengumpulkan massa demi kesuksesan partai yang diusung. Bahkan, sebelum kampanye dilaksanakan, parpol sudah mempromosikan janji-janji politik yang akan disampaikan ketika kampanye.

Imaji iklan

Di sudut-sudut jalan, pertokoan, perkantoran, gedung-gedung pemerintahan, dan di tempat strategis lainnya, kita dapat menemukan nuansa kampanye yang dimanifestasikan melalui spanduk dan baliho yang melambangkan parpol tertentu. Terdapat ajakan dan rayuan yang mencoba menampilkan segudang harapan bagi rakyat yang memilih partainya.

Ajakan dan rayuan yang ditampilkan melalui spanduk-spanduk merupakan salah satu bentuk iklan politik yang hendak mempromosikan visi dan misi parpol, di samping juga mencetuskan harapan-harapan semu yang belum tentu direalisasikan.

Iklan politik yang terdapat di jalanan merupakan bagian kampanye untuk memperoleh dukungan rakyat. Melalui iklan politik, parpol berharap banyak akan perhatian masyarakat terhadap masa depan dan kejayaan parpolnya.

Namun, keberadaan iklan politik harus efektif dan etis. Ketika menyampaikan pesan tidak harus memunculkan reaksi pro dan kontra sehingga bisa merugikan pihak lain. Kita bisa memahami, keberadaan iklan politik harus memerhatikan etika dalam beriklan dengan tidak menyampaikan pesan-pesan yang merugikan orang lain. Hemat saya, pengiklanan seperti di media massa sangat bertentangan dengan etika periklanan, oleh karenanya perlu ada guidance yang menjadi pedoman.

Semakin merebaknya iklan politik memang bukan hal yang aneh. Bahkan, fenomena itu hal yang wajar, mengingat pertarungan politik pada pilkada 2010 semakin dekat. Di Yogyakarta, iklan politik yang menampilkan atribut parpol maupun calon bupati-wakil bupati yang diusung menghiasi berbagai sudut jalan. Nuansa kampanye di DIY begitu kental dengan menampilkan sosok pemimpin nasional sebagai wahana membangun citra di mata publik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com