Nusa Dua, Kompas
Deklarasi Bali hasil Kongres Panas Bumi Dunia (WGC) 2010 itu berisi empat pokok pikiran yang dijabarkan dalam 24 butir. Penegasan pemberdayaan panas bumi secara bertanggung jawab dari sisi lingkungan hidup adalah poin penjabaran pertama dari pokok pikiran pertama deklarasi, yakni energi merupakan kebutuhan dasar sekaligus keberkelanjutan hidup umat manusia.
Ditegaskan, sumber daya alam harus dilihat bukan semata sebagai warisan dari para leluhur, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya bagi kelanjutan umat manusia.
Dalam semangat itulah maka pemberdayaan energi panas bumi, yang notabene energi terbarukan, dapat diharapkan menjadi salah satu pilihan sekaligus jalan keluar dari keterbatasan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
Pemberdayaan energi panas bumi ini pun harus diikuti upaya untuk menghindari penambahan sekaligus mengurangi emisi gas karbon dioksida di bumi.
Deklarasi itu ditandatangani 15 perwakilan asosiasi panas bumi di seluruh dunia, disaksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh. Di antara penandatangan adalah Presiden Asosiasi Geotermal Internasional (IGA) Prof Ladislaus Ribach, Ketua IGA Eropa Miklos Antics, dan Ketua Masyarakat Energi Geotermal China Prof Keyan Zheng. Kongres WGC 2015 akan digelar di Melbourne, Australia, digelar bersama oleh Australia dan Selandia Baru.
Ribach menyatakan, WGC 2010 sangat strategis dan pantas dikenang sebagai salah satu kongres WGC bersejarah.
Hal itu terutama ditandai tampilnya dua presiden dalam satu panggung, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Eslandia Olafur Ragnar Grimsson. ”Semua pemimpin di dunia selayaknya meniru dua pemimpin negara itu dari sudut pandang energi yang berkelanjutan,” kata Ribach yang diiringi tepuk tangan peserta kongres.
Sejumlah negara dan kawasan menyatakan komitmennya dalam memberdayakan energi panas bumi. Pertumbuhan penggunaan energi panas bumi untuk menyuplai kebutuhan listrik sebenarnya telah terjadi sejak 40 tahun, antara 3-11 persen per tahun. Sepuluh negara baru dipastikan akan menghasilkan listrik dengan panas bumi itu pada 2015.
Uni Eropa, misalnya, menargetkan sekitar 20 persen suplai energinya berasal dari sumber energi terbarukan, termasuk dari panas bumi.
Pemerintah Indonesia menargetkan pada 2025 sekitar 5 persen dari total kebutuhan energi nasional akan dipenuhi melalui pemanfaatan energi panas bumi yang dieksplorasi secara ramah lingkungan.
Darwin Zahedy Saleh menyatakan, pemerintah sangat serius menggarap teknologi panas bumi dan mengurangi kebergantungan pada sumber energi fosil.
Meskipun masih digunakan, lambat laun penggunaan batu bara sebagai sumber energi listrik akan dikurangi, khususnya mulai percepatan kedua pemenuhan energi listrik nasional. Ia membantah sinyalemen semua proyek pemberdayaan panas bumi akan dilakukan investor dari China.
”Geotermal kita menggunakan pabrikan beragam, mulai dari Jepang, China, Jerman. Jadi, sinyalemen itu tidak benar. Kita tetap akan menggunakan kombinasi sementara mekanisme pembiayaannya masih dipikirkan alternatifnya. Kebutuhan listrik kita meningkat 8-11 persen per tahun, sementara pasokan listrik hanya tumbuh sekitar 3,5-4 persen. Selisih itu harus kita tutup pelan-pelan,” kata Darwin. (BEN)