Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sapi Australia Tak Datang? Jangan Takut

Kompas.com - 24/06/2011, 05:33 WIB

Menurut Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan BPS Nyoto Widodo, data selama ini berdasar Survei Peternakan Nasional 2008 dan laporan administrasi dinas-dinas.

Hingga Rabu (22/6) pagi, dari total 77.548 desa, pendataan sapi sudah selesai di 71.490 (86,3 persen) desa. Hasilnya, terdapat sapi potong 11.926.677 ekor, sapi perah 454.588 ekor, dan kerbau 1.054.072 ekor, total 13.433.337 ekor. Populasi terbesar ada di Jawa Timur, total 4.186.181 ekor, lalu Jawa Tengah 2.089.965 ekor, Sulawesi Selatan 852.513 ekor, dan NTB 758.089 ekor.

Ternak itu dimiliki 5.361.094 orang, atau rata-rata 2 ekor per pemilik. Menurut Nyoto, hasil sensus akan diserahkan ke Kementan pada November 2011.

Soal bibit

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Prabowo Respatiyo Caturroso memperkirakan, jumlah sapi potong ada 13,3 juta ekor jika sensus selesai dilakukan. Dengan konsumsi daging sapi 1,76 kg/kapita/tahun, populasi 240 juta orang, dan diasumsikan karkas sapi per ekor 160 kg, maka tiap tahun dipotong 2,6 juta ekor sapi. Berarti ada sisa hampir 10 juta ekor yang akan bertambah dengan program inseminasi buatan (IB).

Masalahnya, demikian Prabowo, ternak itu terserak sehingga distribusi ke konsumen perkotaan jadi masalah. Dia juga mengakui terjadi praktik pemotongan sapi betina dan sapi bunting meski dilarang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sanksinya, kurungan 3-9 bulan dan atau denda Rp 5 juta-Rp 25 juta. ”Pelaksanaan sanksi akan diketatkan,” kata Prabowo.

Kementan melalui pemerintah daerah juga akan membeli ternak betina produktif yang dibawa ke RPH lalu diserahkan ke kelompok peternak atau sarjana masuk desa. ”Peternak yang punya sapi bunting dapat insentif memelihara Rp 500.000,” tambah Prabowo.

Swasembada daging sapi tak kunjung tercapai karena pemerintah tak konsisten. Pengusaha penggemukan sapi, Adikelana Adiwoso, mengingatkan, terjadi penurunan sumber tetua sapi lokal ketika tahun 1970-an sapi lokal ukuran besar diekspor besar-besaran dari Bali dan Nusa Tenggara ke Hongkong.

Muladno menyebut, pemotongan ternak betina produktif memperlihatkan tidak bekerjanya pengawasan. ”Tidak sedikit sapi betina dibikin cacat oleh peternak, kakinya dipatahkan, agar ada alasan memotong,” ujar dia.

Padahal, harga sapi betina lebih murah karena lebih ringan daripada sapi jantan. Peternak lebih memilih memelihara sapi jantan untuk keperluan hari raya kurban karena dapat dijual lebih mahal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com