Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pajak Migas Tak Tergali

Kompas.com - 11/01/2012, 03:19 WIB

Jakarta, kompas - Penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas bumi serta pertambangan masih sangat kecil dibandingkan dengan potensinya. Penyebabnya antara lain nihilnya basis data perpajakan, polemik pajak berganda, dan devisa perusahaan asing yang langsung lari ke luar negeri.

Demikian ringkasan keterangan pers Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany di Jakarta, Selasa (10/1), menyangkut kecilnya penerimaan pajak di sektor minyak dan gas bumi (migas) serta pertambangan.

Pada tahun 2011, realisasi penerimaan pajak dari sektor migas senilai Rp 65 triliun. Pada tahun ini, targetnya turun menjadi Rp 60 triliun atas alasan turunnya harga minyak dunia.

Sementara realisasi pajak dari sektor pertambangan pada 2011 senilai Rp 40 triliun. Tahun ini, targetnya ditambah 21 persen atau senilai Rp 48,8 triliun. Total realisasi penerimaan pajak pada 2011 senilai Rp 872,6 triliun atau 99,3 persen dari target senilai Rp 878,7 triliun.

Fuad menyatakan, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) belum memiliki basis data perpajakan menyangkut sektor migas dan pertambangan. Data itu minimal terkait jumlah perusahaan, produksi, dan ekspor. Akibatnya, potensi riil yang besar di sektor migas dan pertambangan tak tergali maksimal. Meski demikian, Fuad tidak menjelaskan berapa potensi riilnya.

Hal yang pasti, Fuad melanjutkan, banyak perusahaan migas dan pertambangan tidak membayar pajak. Kalaupun ada sebagian yang membayar, nilai yang disetorkan tidak sebagaimana mestinya.

”Karena jumlah produksinya kami tidak tahu, yang dilaporkan jauh dari sebenarnya. Laporan ekspor juga jauh dari yang sebenarnya. Kami sudah buat survei soal itu. Kami tidak asal ngarang,” kata Fuad.

Polemik pajak berganda juga masih menjadi sandungan optimalisasi pajak di sektor migas dan pertambangan. Sebagaimana diberitakan (Kompas, 12 Agustus 2011), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan tunggakan pajak Rp 1,6 triliun oleh 14 kontraktor migas. Tunggakan karena beda tafsir antara pemerintah dan kontraktor.

Tarif yang dipakai kontraktor adalah tarif PPh pada tax treaty (Perjanjian Pencegahan Pajak Berganda/P3B) yang lebih murah dari tarif pemerintah yang mendasarkan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh sebesar 20 persen.

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Amri Zaman menambahkan, salah satu potensi yang selama ini juga hilang adalah dari sisi devisa. Perusahaan migas dan pertambangan asing, alih-alih menyimpan uangnya dalam bank dalam negeri, umumnya langsung menyimpan di bank luar negeri.

Secara terpisah, pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, penerimaan pajak dari sektor migas dan pertambangan yang dinilai sangat kecil dibandingkan dengan potensinya menunjukkan kinerja Ditjen Pajak yang belum optimal. Jadi, hal itu bukan karena sistem kontrak bagi hasil (PSC) dan perpajakannya yang bermasalah.

”Masalah ini harus dilihat, apakah disebabkan kekurangan tenaga ahli perpajakan yang mengerti migas atau karena sistem perpajakan pengusahaan migas kita bermasalah, termasuk soal pajak berganda,” katanya.

Jika penyebabnya kekurangan tenaga ahli, tambah tenaga ahli perpajakan. Namun, jika penyebabnya adalah sistem perpajakan, penanganannya dan konsekuensinya akan berbeda. ”Pengubahan atau peninjauan kembali perlakuan pajak terhadap industri migas bisa kontraproduktif terhadap iklim investasi migas,” ujarnya. (LAS/EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Whats New
Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Work Smart
Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Whats New
17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

Whats New
Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Rilis
Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya 'Serok'?

Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya "Serok"?

Earn Smart
Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Whats New
Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Whats New
Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Whats New
Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Whats New
Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Spend Smart
PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

Whats New
Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Whats New
Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com