Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebuah Kampung di Kaki Gunung

Kompas.com - 26/04/2012, 09:10 WIB

Mengitari kampung ini bisa dengan melalui hutan yang jalan masuknya ada di belakang kampung, dan kembali melalui jalan setapak perkebunan teh. Waktu yang dibutuhkan sekitar 3 jam dengan berjalan kaki santai. Sungguh perjalanan pagi yang menenangkan. Bersentuhan dengan kabut tipis, menyaksikan embun yang masih menempel di daun-daun, menghirup dalam-dalam oksigen murni yang terkumpul di kaki gunung.

Di tengah rintik hujan, para perempuan pemetik teh yang berasal dari berbagai kampung di Desa Mulasari mengumpulkan karung-karung berisi daun teh di pinggir jalan. Mereka menanti datangnya truk pengangkut. Icih, perempuan berusia lima puluhan tahun, mengibas-ngibaskan kainnya yang basah dan penuh percikan lumpur. Perempuan ini sudah bekerja di perkebunan ini lebih dari 30 tahun sebagai pemetik teh. ”Anak saya sekarang juga kerja di perkebunan ini, sama dengan saya,” tuturnya dalam bahasa Sunda.

Namun, kehidupan Icih sepertinya tidak beranjak banyak. ”Dulu, upah saya bisa mencukupi untuk hidup sebulan, sekarang makin sulit,” katanya sambil membersihkan jari-jari tangannya di parit.

Icih bekerja sejak pukul 06.00 sampai pukul 13.00. Jika sedang beruntung mendapatkan pucuk-pucuk teh yang muda dan segar, ia bisa mengumpulkan upah sampai Rp 250.000 sebulan. Tapi di saat sulit—kala daun-daun teh yang dikumpulkannya tidak memenuhi standar pabrik—ia pernah hanya memperoleh Rp 90.000 per bulan. ”Sekarang hidup makin susah, apa-apa mahal,” kata Icih.

Butuh sekolah

Desa nan permai ini menyimpan banyak cerita tentang pergulatan keras warganya. Ade, misalnya, bercerita bagaimana ia harus berlapang dada menamatkan pendidikannya hanya sampai bangku SMP karena pada tahun 1990-an ia harus ke Bogor bila ingin melanjutkan sekolah ke bangku SMA. ”Untuk bersekolah ke SMP pun waktu itu saya harus jalan kaki setengah hari, tapi saya lakoni. Kalau ingin meneruskan ke SMA orangtua saya tak mampu,” kata Ade.

Hampir dua puluh tahun kemudian, kejadian serupa masih menimpa keponakannya, Yanti. Tahun lalu, Yanti lulus dari SMP terbuka, tetapi ia menjadi satu-satunya anak di sekolah itu yang tidak melanjutkan ke SMA karena orangtuanya tak mampu.

”Anak saya sampai menangis terus ingin sekolah. Tapi biaya dari mana? SMA letaknya jauh dari sini. Kalau mau melanjutkan ke SMA harus kos dan biayanya paling sedikit Rp 500.000 per bulan. Sementara suami saya gajinya hanya Rp 1 juta, itu pun kadang tidak utuh karena sudah dipotong untuk bayar utang. Jadi saya paksa anak saya untuk bekerja,” kata Yayat, sang ibu.

Di Kampung Citalahab Sentral yang penduduknya hanya 18 keluarga itu, satu sama lain saling berkerabat. Sejarah mereka sudah melintasi empat generasi. Warganya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan upaya mandiri. Beras dihasilkan dari sawah garapan sendiri, ikan diambil dari balong, sayuran dipetik dari kebun di belakang rumah. Penghasilan tambahan diperoleh dari penyewaan kamar dan bekerja di kebun teh.

Namun, untuk soal yang satu itu—pendidikan formal, mereka memang bergantung pada pemerintah. Dan setelah hampir 67 tahun Indonesia merdeka, mereka masih tetap menunggu kehadiran sekolah setingkat SMA di desanya....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com