Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nelayan Tidak Ubahnya Buruh

Kompas.com - 05/06/2012, 03:40 WIB

Jakarta, Kompas - Kisah suram melingkupi kehidupan nelayan di sejumlah wilayah Tanah Air. Di tengah limpahan hasil laut, mereka umumnya tidak punya alat tangkap sendiri. Pola bagi hasil dengan pengusaha kapal menjadi pilihan. Namun, pola itu memosisikan nelayan sebagai buruh.

Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, sekitar 70 persen dari sekitar 228.000 nelayan setempat bekerja sebagai buruh. Mereka bekerja dengan pola bagi hasil dengan nelayan lain atau bekerja pada pengusaha kapal.

Kondisi ini diperparah karena tempat pelelangan ikan tidak berfungsi maksimal. Dari 27 tempat pelelangan ikan di Sumut, hanya 10 yang berfungsi, lainnya dalam tahap pengembangan.

Banyak nelayan yang lebih suka merapat ke dermaga milik swasta. Selain karena fasilitasnya lebih baik, nelayan mempunyai ketergantungan secara finansial pada pengusaha. Ahyar (28), nelayan di Lorong Makmur, Belawan Lama, mengatakan, sejak kecil sudah bekerja sebagai nelayan pada pengusaha dengan pola bagi hasil.

Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Medan, Atan, mengatakan, alur perdagangan ikan dari nelayan ke konsumen cukup panjang. Biasanya adalah tengkulak, pengusaha kapal, baru ke nelayan.

Begitu nelayan mendapat ikan dari laut, misalnya 100 kilogram, untuk harga ikan yang di tangan konsumen Rp 20.000 per kilogram, nelayan hanya mendapat maksimal Rp 15.000 per kilogram. Artinya, hari itu ikan dibeli pengusaha Rp 1,5 juta. Penghasilan itu kemudian dikurangi biaya produksi dan biaya pemeliharaan kapal yang dikeluarkan pengusaha, misalnya Rp 500.000, maka dana tinggal Rp 1 juta.

Kemudian dana sisa dibagi antara pengusaha dan nelayan dengan proporsi 50-50 atau 40 persen pengusaha dan 60 persen untuk nelayan tergantung dari perjanjian. Sisa 60 persen atau Rp 600.000 itu yang didapat nelayan. Jika dalam satu pelayaran ada tiga nelayan, maka dana dibagi tiga, jika empat nelayan maka dana pun dibagi empat.

Pengusaha akan menjual pada tengkulak atau pedagang besar Rp 17.000 per kilogram, jadi pengusaha untung Rp 200.000. Tengkulak kemudian yang menjual ke pasar atau industri.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara Matius Bangun mengakui hal itu. Ini terjadi karena tempat pelelangan ikan (TPI) tidak optimal.

Di wilayah pantai utara Jawa Barat pun praktis tidak ada industri perikanan yang menampung ikan hasil tangkapan nelayan. Di sentra-sentra perikanan, usaha pengolahan terbatas pada pemindangan dan pengasinan ikan.

Hal itu seperti yang ditemui di sentra perikanan Karangsong, Indramayu. Di sentra perikanan terbesar di Jabar itu, ikan-ikan kualitas ekspor langsung dikirim ke Jakarta atau Surabaya untuk proses pengepakan.

Adapun ikan kualitas rendah dipakai untuk industri kerupuk. Beberapa di antaranya, seperti tengiri dan tongkol, dipakai untuk konsumsi dalam negeri, utamanya ke Palembang, sebagai bahan otak-otak, empek-empek, atau bakso ikan.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Indramayu menyebutkan, ikan yang mendarat di TPI di seluruh Indramayu rata-rata 3.500 ton per bulan. Itu yang tercatat masuk TPI, sedangkan lebih banyak lagi yang tidak masuk TPI. ”Jumlah tangkapan ikan nelayan tradisional bisa sampai dua atau tiga kali lipat dari yang masuk ke TPI,” kata Sutaryat, Kepala Bidang Perikanan Indramayu. (NIT/WSI/REK/RAZ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com