Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kuota BBM dan Kalimantan

Kompas.com - 07/06/2012, 02:22 WIB

Menekan besaran ”subsidi BBM” dengan menerapkan instrumen pembatasan jumlah BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang tidak tepat dan kontraproduktif. Selain menyengsarakan rakyat, kebijakan ini dapat menyuburkan ketidakpuasan.

Dari segi upaya mendorong pertumbuhan ekonomi (GDP) guna menyerap lebih banyak tenaga kerja, kebijakan kuota BBM ini sangat bertolak belakang. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan energi/BBM yang cukup. Tanpa dukungan energi/BBM, akan menurun kegiatan ekonomi masyarakat, produktivitas, pendapatan, dan pada akhirnya menurunkan jumlah lapangan kerja.

Realisasi BBM bersubsidi tahun 2011 adalah 41,8 juta kl. Tahun 2012 dibatasi 40 juta kl dengan sasaran pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Nyaris mustahil untuk mempertahankan kuota 40 juta kl. Seperti tahun-tahun sebelumnya, akhirnya kuota BBM harus ditambah. DPR dan pemerintah tentu tidak ingin menyusahkan rakyat dan tidak ingin pertumbuhan ekonomi menurun sehingga baik DPR maupun pemerintah pada akhirnya sepakat untuk menaikkan kuota BBM.

Oleh karena itu, upaya menurunkan jumlah ”subsidi BBM” sebaiknya tidak dengan menggunakan instrumen pembatasan/pengendalian. Perlu instrumen kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat dan tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Caranya dengan menerapkan kebijakan energi baku berupa diversifikasi energi.

Alternatif gas

Energi non-BBM yang dapat mengurangi pemakaian BBM adalah bahan bakar nabati ataupun energi baru dan terbarukan lain. Namun, jumlahnya belum memadai kecuali gas.

Gas menjadi pilihan yang rasional karena harganya lebih murah meski tidak disubsidi, ramah lingkungan, dan ketersediaannya terjamin hingga 50 tahun kedepan. Ini mengingat jumlah cadangan dan sumber daya gas di bumi Indonesia sangat besar, lebih dari lima kali jumlah cadangan dan sumber daya minyak.

Program konversi dari BBM ke BBG semestinya tidak hanya menjadi bagian dari lima program penghematan energi Presiden SBY, tetapi juga sebagai kebijakan pokok pemerintah yang menjadi program nasional sehingga pembangunan infrastruktur, termasuk sistem tata niaga, kelembagaan, dan sosialisasinya, harus dipercepat dengan sasaran dan target waktu yang jelas. Kita sudah punya contoh keberhasilan dengan program konversi dari minyak tanah ke gas.

Dengan fokus pada program konversi BBM ke BBG, kebijakan kuota BBM bisa dihapus. Namun, program hemat listrik di kantor-kantor pemerintah dan larangan PLN untuk menggunakan BBM lebih banyak lagi sebaiknya diteruskan.

Saat ini kenaikan besaran ”subsidi BBM” sebagai akibat penghapusan sistem kuota perlu diimbangi dengan efisiensi mekanisme impor minyak oleh Pertamina dengan membeli langsung dari produsen. Ini perlu mengingat devisa untuk impor minyak mentah dan BBM sangat besar, sekitar 37 miliar dollar AS per tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com