DTKJ berharap Jokowi mempertimbangkan kembali keputusannya. Pertimbangan rasio jalan di Jakarta yang masih 6 persen dibanding total luas wilayah tidak harus dijawab dengan penambahan jalan baru, apalagi tol, tetapi dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan transportasi publik.
Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pun turut menyesalkan hal ini. ”Jokowi tidak konsisten dengan kampanyenya selama ini yang menolak pembangunan jalan tol baru dalam kota,” ujarnya. Jokowi sebaiknya fokus menggarap transportasi publik.
Soal persyaratan pembangunan jalan tol, pengamat tata kota Yayat Supriatna mengingatkan, hal itu sudah diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW Jakarta 2030.
Dalam Pasal 29 Ayat 3 disebutkan, proyek baru dapat dilaksanakan jika 12 koridor transjakarta diintegrasikan secara optimal lengkap dengan jaringan bus pengumpan (feeder), pembatasan lalu lintas kendaraan, menerapkan strategi manajemen lalu lintas di setiap titik masuk-keluar tol, dan menerapkan konsep integrasi angkutan massal.
”Intinya, jika sistem angkutan umum belum terbangun, jalan tol sebaiknya tidak dibangun,” tutur Yayat.
Menurut Yayat, Gubernur DKI mempunyai dasar hukum untuk menolak proyek enam ruas jalan tol. Dalam Pasal 22 Ayat 2 Perda RTRW ditegaskan, target perjalanan penduduk 60 persen menggunakan angkutan umum.
”Demi kepentingan warga Jakarta, gubernur bisa menolak proyek jalan tol. Proyek jalan tol bisa ditolak atau sebaiknya ditunda sementara waktu sampai semua syarat terpenuhi,” ujarnya.
Menanggapi sejumlah kritik tersebut, Jokowi, kemarin, menegaskan, dia menyetujui pembangunan enam ruas jalan tol itu dengan sejumlah persyaratan yang tidak mudah. Proyek itu harus dipastikan dapat dimanfaatkan angkutan massal, lolos analisis dampak lingkungan lalu lintas, dan dilakukan penataan pintu masuk-keluar tol yang sesuai.