Ichwan Susanto
Hutan buatan itu memang belum sempurna. Tanaman keras, seperti jabon dan besirak, masih berdiameter kecil, sekitar 5 sentimeter. Sela-sela tanaman dipenuhi rumput dan semak-semak.
Kewajiban melakukan reklamasi menjadi amanat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Hutan yang dibongkar untuk diambil mineralnya ataupun akses tambang wajib dipulihkan lagi.
Kebanyakan perusahaan tambang mereklamasi setelah penambangan selesai. Newmont Nusa Tenggara (NNT) memproyeksikan tahun 2037 (diperpanjang dari rencana semula tahun 2027) selesai mengeksploitasi tembaga di Batu Hijau. Namun, NNT melaksanakan upaya reklamasi dini. Lahan yang tak terganggu lagi oleh aktivitas tambang segera direklamasi.
Hutan di Batu Hijau berstatus hutan produksi. Namun, kenyataannya saat dibuka, kondisinya terhitung ”perawan”. Aneka fauna dilindungi, seperti burung kakaktua jambul kuning, monyet, hingga babi rusa, serta berbagai jenis elang bergantung hidup pada hutan.
Aktivitas ekstraktif dibuka sekitar tahun 2000, kata Mara, tetapi reklamasi sudah dilakukan sejak 1998. ”Tidak perlu menunggu operasi tambang selesai. Mana lahan terbuka yang sudah tidak terganggu, kami reklamasi,” ujarnya.
Hingga kini, 720 hektar, yakni sepertiga dari lahan yang dibuka NNT, dari pelabuhan NNT Benete hingga sekitar pit tambang, sudah direklamasi. Areal yang masih terbuka atau digunakan untuk pit (berupa cekungan sedalam 420 hektar dari bentuk yang semula bukit) dan infrastruktur luasnya 2.500 hektar dari kontrak karya 87.000 hektar.
Potro Soeprapto, Senior Manager Departemen Lingkungan NNT, menjelaskan, reklamasi pascatambang tidak cukup dengan menanami lahan terbuka. Dibutuhkan metode untuk menyiasati sifat asam dari pembukaan lahan. Saat pembukaan, top soil (lapisan tanah teratas yang berisi aneka unsur hara) disimpan.