Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rente Ekonomi BBM

Kompas.com - 03/05/2013, 02:39 WIB

Pemain lama

Sebagian besar anggota sindikat perdagangan minyak ini disinyalir pemain lama yang bercokol sejak Orde Baru. Mereka inilah—dalam istilah salah satu panelis—musuh sebenarnya. Musuh kepentingan bangsa yang lebih besar, yaitu membuat perekonomian lebih sehat dan bebas dari kanker.

Di tangan mereka, harga minyak dan produk BBM yang seharusnya bisa ditekan menjadi mahal. Akibatnya, negara harus semakin dalam merogoh kocek untuk subsidi agar harga BBM lebih masuk akal bagi konsumen dan tak memberatkan rakyat. Mereka juga tidak menginginkan industri minyak nasional tumbuh kuat karena keberadaan industri atau tata niaga minyak dan BBM yang efisien menjadi ancaman keberadaan mereka.

Bagaimana bisa berharap ketahanan energi dan industri migas nasional kuat jika kementerian dan BUMN perminyakannya disebut-sebut sebagai salah satu institusi terkorup di negeri ini? Dalam kasus minyak, kasus-kasus korupsi besar Pertamina pada masa lalu justru melibatkan para petingginya dan anak-anak perusahaannya sendiri.

Jaringan tersebut mampu memengaruhi kebijakan sehingga upaya pengadaan BBM yang efisien, pengembangan energi terbarukan untuk mengganti energi fosil sebagai primadona, dan upaya pembangunan sejumlah kilang baru pengolahan BBM di dalam negeri tak terwujud.

Keterbatasan kilang membuat kita bergantung pada impor BBM dari luar. Terbatasnya kilang di dalam negeri juga membuat minyak mentah kita harus dijual ke Singapura untuk diolah di sana. Minyak yang sudah diolah kemudian kita impor lagi melalui anak perusahaan Pertamina.

Akibatnya, bukan hanya rantai semakin panjang, melainkan juga terbuka peluang terjadinya praktik penggelembungan harga (mark up) dan permainan pengaturan tender yang membuat biaya pengadaan BBM semakin mahal. Di sini kita baru bicara BBM, belum lagi pengadaan minyak mentahnya sendiri.

Dugaan mark up dan permainan tender, antara lain, muncul karena tak jarang harga beli melalui anak perusahaan Pertamina justru di atas rata-rata harga minyak dunia dengan selisih bisa 10-30 persen. Bayangkan, berapa nilainya jika, katakanlah, setiap hari kita mengimpor sekitar 500.000 barrel minyak mentah dan 500.000 barrel minyak olahan.

Dalam kasus kilang, dengan dalih margin yang kecil, wacana membangun kilang baru tak pernah terwujud. Padahal, selain nilai ekonomis ada nilai strategis dari kepemilikan kilang nasional, terlebih untuk negara seperti Indonesia yang memiliki sumber minyak sendiri dan konsumsi BBM yang tinggi di dalam negeri.

Nilai strategis tersebut, antara lain, menjamin pasokan BBM di dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar BBM jadi, dan pertimbangan nilai tambah dalam negeri, termasuk peluang pengembangan industri turunan, seperti petrokimia, di dalam negeri. Itu alasan kenapa negara seperti Singapura yang tak memiliki sumber minyaknya pun merasa perlu membangun kilang-kilangnya sendiri.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com