Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laba Gula Merombak Cita Rasa

Kompas.com - 02/06/2013, 07:44 WIB

Perang Jawa mengubah peta politik dan pola relasi antara para raja Jawa dan orang Eropa. Pasca-didera kemiskinan akibat perang yang dikobarkan Diponegoro pada 1825- 1830, keempat wangsa pewaris takhta Mataram menikmati ”uang gula”. Para ”bekel Eropa” membawa lebih banyak uang dibandingkan dengan bekel pribumi, dan mengenalkan gaya hidup dan makanan Eropa.

Sri Ratna Saktimulya menaruh kitab setebal lima sentimeter itu dengan hati-hati. Filolog Pura Pakualaman itu pelan membalik lembaran demi lembaran yang berumur 200 tahun. Serat Bharatayudha yang penuh ilustrasi aneka warna itu ditulis atas perintah putra mahkota Pakualaman, Pangeran Suryaningrat, pada tahun 1814.

”Gambar meja ini adalah ilustrasi hidangan Kurawa saat menerima Kresna yang menjadi utusan Pandawa menjelang Bharatayudha,” kata Sakti menunjukkan salah satu ilustrasi dalam serat itu.

Meja besar itu tergambar penuh aneka hidangan, seperti ikan, kepiting, udang, daging, dan aneka buah. Piring berjajar, diapit pisau-garpu, sendok, sebotol minuman, sebuah cawan anggur, dan gelas tanpa kuping. Sakti membaca narasi aksara Jawa yang ada di atasnya.

”Semua piring dan sendoknya berlapis emas. Perkakas meja serba enak dan bermacam ragamnya. Masakan sayur, roti, keju, buah, coklat, dan air teh, semua disajikan dalam keadaan hangat. Minumannya semerbak—arak, adas, dan breduen, anggur saki merah—ada di nampan kencana yang dibawa para perempuan yang berhias,” Sakti membacakan isi kitab berbahasa Jawa itu.

Lakon Kresna Duta yang ganjil, sebuah bagian epos Mahabarata dengan perjamuan ala Eropa bagi Kresna. Hadirnya keju, coklat, roti, ataupun anggur merah dalam dongeng itu seperti gambaran kehidupan bangsawan Pakualaman kala itu. Masa di mana mereka kian berinteraksi dengan orang Eropa. Relasi berikutnya makin ”mesra”, terbangun oleh simbiosis mutualisme para raja pemilik tanah dan para tuan Eropa penyewa tanah.

Residen HG Nahuys van Burgst pada 1816 menggagas penyewaan tanah raja dan tanah lungguh bangsawan untuk perkebunan komoditas yang laku di pasaran Eropa. Hingga 1821, tak kurang dari 1.281 jung tanah para raja di Surakarta dan Yogyakarta disewa ratusan ”bekel Eropa”.

Mesin uang para raja dan bangsawan pemegang tanah lungguh macet tiba-tiba, gara-gara pemerintah Hindia Belanda pada 6 Mei 1823 menerbitkan aturan melarang praktik sewa tanah kerajaan. Alasannya, penyewaan lahan itu tak memperbaiki kesejahteraan rakyat (Vincent JH Houben, 1994). Larangan itu membuat para raja dan bangsawan terlilit utang karena harus membayar ganti rugi kepada para ”bekel Eropa”.

Banyak dari para bangsawan berutang bergabung dalam barisan Diponegoro, mengobarkan perang Jawa. Begitu besarnya perang yang menewaskan 200.000 orang Jawa itu (Peter Carey, 2011), Hindia Belanda nyaris bangkrut. Negara induk Kerajaan Belanda tak kuasa membantu, karena uangnya pun habis gara-gara perang Napoleon dan pemberontakan Belgia.

Tanam Paksa gagasan Johannes van den Bosch (1780-1844) dipilih sebagai solusinya. Seluruh tanah di Jawa harus dijadikan perkebunan komoditas yang laku di pasar Eropa demi menyelamatkan kas Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com