Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laba Gula Merombak Cita Rasa

Kompas.com - 02/06/2013, 07:44 WIB

Jeri dengan perang Jawa, Van den Bosch tak menggelar tanam paksa di kerajaan keempat wangsa pewaris takhta Mataram. Justru para raja dan bangsawan pemegang lungguh yang ”berlomba” untuk kembali menyewakan tanah mereka kepada para ”bekel Eropa”.

Kali ini, industri perkebunan para ”bekel Eropa” berumur panjang dan merombak perikehidupan para raja dan kawulanya. Ledakan laba ”uang gula” membanjiri Sunan PB IX (bertakhta 1861-1893), Sultan HB VII (bertakhta 1877-1921), Mangkunegoro (MN) IV (bertakhta 1853-1881), dan Pakualam (PA) V (bertakhta 1878-1900).

Kepiawaian PB IX berbisnis dengan ”bekel Eropa” menjadikan PB X sebagai raja Jawa terkaya sepanjang sejarah. ”Mobil pertama di Jawa dimiliki oleh PB X, ketika orang Eropa pun belum mampu membelinya. Dengan warisan PB IX, PB X merenovasi kompleks makam Imogiri dan Masjid Agung Kotagede di Yogyakarta. Beliau pula yang membangun Sriwedari, juga membangun Masjid Agung Kauman Surakarta,” kata Margana.

Moerdijati Gardjito mengisahkan betapa manisnya ”uang gula”. ”Ketika Sultan HB VII naik takhta, atap istana bocor di mana-mana. Penyewaan tanah- tanah raja Kesultanan Yogyakarta kaya raya. HB VIII membeli segala macam barang Eropa,” kata Moerdijati.

MN IV (bertakhta 1853-1881) yang wilayah kekuasaannya lebih kecil pun piawai mengumpulkan ”uang gula”. Ia membangun pabrik gula Colo Madu pada tahun 1861. Agar bisa membuat perkebunan sendiri, pada 1862-1871 MN IV menghapuskan tanah lungguh. Sebagai gantinya, bangsawan dan pegawai Mangkunegara menerima upah uang.

MN IV juga menggaji sejumlah orang Belanda sebagai pengelola kebun dan pabrik gulanya. Pada tahun 1871, MN IV membangun pabrik gula keduanya, Tasik Madu (Wasino, 2008). Pakualam V mengikuti jejaknya dengan membangun pabrik gula Sewu Galur.

”Pada kurun tahun 1870, intensitas akulturasi Jawa-Eropa sangat menguat. Uang hasil perkebunan digunakan membeli gaya hidup Eropa, termasuk kulinernya. Para raja semakin rajin membuat perjamuan ala Eropa, yang pastilah dihasilkan oleh koki Eropa,” kata Margana.

Maka lahirlah bistik jawa, yang berakar dari biefstuk—seperti hidangan daging panggang Belanda bersaus kaldu kental. ”Bistik dan selat adalah makanan kersanan Sunan PB IX,” tutur GKR Timoer soal pengaruh Eropa dalam kuliner Kasunanan.

Di Kesultanan Yogyakarta, muncul roti jok, kue berbahan campuran tepung beras dan tepung terigu. Di Pura Pakualaman, hutspot (masakan simbol perlawanan rakyat Leiden, Belanda, melawan Spanyol pada 1573-1574) bersalin jadi ongklok kegemaran Paku Alam VIII.

Berkat gula, ekonomi Surakarta dan Yogyakarta tumbuh pesat. Kedua kota kian urban, dengan semakin banyaknya pendatang, dan pertumbuhan sektor jasa.

Di Jalan Malioboro, Yogyakarta, bertumbuhan hotel, restoran, dan toko roti Eropa. Surakarta malah lebih urban lagi, karena memiliki jaringan rel kereta api yang menghubungkannya dengan Semarang. Itulah awal terbentuknya cita rasa elite Jawa yang menekuk santapan Eropa menjadi hidangan Jawa. Juga pergulatan kawula untuk ikut mencecap rasa sedap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com