Jakarta, Kompas
Demikian pernyataan hasil Konferensi Internasional La Via Campesina (LVC) atau Gerakan Petani Sedunia, di Jakarta, yang berakhir pada Rabu (12/6). Koordinator Umum LVC Henry Saragih mengatakan, konflik agraria menunjukkan agresifnya ekspansi bisnis perusahaan-perusahaan besar untuk menguasai lahan yang luas.
Besarnya konflik agraria di dunia ditunjukkan dengan lahan yang dibeli perusahaan besar sudah mencapai 50 juta hektar sejak tahun 2008. Berdasarkan data Serikat Petani Indonesia, konflik di Indonesia juga terus meningkat, dari 22 kasus pada tahun 2010 menjadi 144 kasus pada 2011 dan 195 kasus tahun 2012.
Luas lahan yang disengketakan terus melonjak dari 77.015 hektar pada tahun 2010 menjadi 342.360 hektar pada 2011 dan 818.814 hektar pada 2012. Dalam waktu tiga tahun itu, 26 orang tewas dan 217 petani dikriminalisasi akibat kasus agraria.
Persoalan lain yang dianggap penting, yakni reformasi agraria yang sudah diagendakan di sejumlah negara, belum dilaksanakan. Belum terealisasinya hak asasi petani dan suplai benih yang tak terjamin juga menjadi perhatian LVC. Kemudian, jangan menggunakan perdagangan bebas untuk pangan. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) diminta tidak menangani kebutuhan pokok tersebut.
Anggota Gerakan Aksi Petani Komite LVC Eropa dari Belgia, Jeanne Verlinden, mengatakan, tak hanya di negara-negara miskin, konflik agraria juga terjadi di Eropa. ”Konflik terjadi di Eropa bagian barat ataupun timur. Namun, persoalan di Eropa timur memang lebih berat,” ujarnya.
Kondisi itu disebabkan perekonomian Eropa timur yang tak semapan di bagian barat serta tingkat pendidikan masyarakatnya lebih rendah. ”Petani harus pergi dari tanahnya. Mereka bekerja di pabrik dengan upah rendah karena amat membutuhkan pekerjaan,” lanjutnya.
Perusahaan transnasional membeli lahan yang luas. Petani kecil perlahan menghilang. Sementara perusahaan besar semakin berkuasa. Konflik membuat petani tak dapat mengakses lahan.
Elizabeth Mpofu, petani dari Zimbabwe, mengatakan, konflik agraria menjadi tantangan paling besar yang dihadapi petani. Karena itu, pemecahan masalah konflik agraria menjadi rekomendasi sebagai hasil konferensi LVC. Konflik agraria yang marak di Afrika tidak sekadar masalah ekonomi.
”Jauh lebih kompleks, konflik bisa memicu masalah sosial yang luas. Konflik itu sangat intens terjadi di berbagai belahan dunia,” kata Elizabeth.
Konflik menyebabkan masyarakat pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Namun, pekerjaan sangat sulit didapat. Tingkat kemiskinan pun meningkat.
”Mereka semakin miskin. Di kota, para penganggur menjadi pengemis atau pencuri, terlibat prostitusi, serta terjebak dalam cengkeraman narkoba dan minuman keras,” lanjutnya.