Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tambang dan Kebun Punahkan Mata Pencaharian Warga Adat Kalimantan

Kompas.com - 02/07/2014, 00:05 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani Julius

Penulis

“Mereka juga sampai studi ke Halmahera, Maluku Utara,” kata Direktur Eksekutif STABIL, Jufriansyah.

Tak hanya itu. Tim juga melakukan berbagai pertemuan dengan banyak kelompok masyarakat adat terpencil. “Sampai pernah ada pertemuan dengan masyarakat Punan yang tinggal di gua-gua yang disebut Gunung Hantu di Berau. Sambil menangis, masyarakat ini katakan, jangan paksa kami punya dinding dan atap bagus. Inilah hidup saya. Tapi kini rumah itu jadi kebun sawit,” kata Jufriansyah.

Tertundanya Pengesahan Perda Raperda PPHMHA berisi tentang kedudukan masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah, wilayah, dan SDA. Raperda mengatur pula hak atas pembangunan, spiritualitas dan kebudayaan, lingkungan hidup, hukum dan peradilan adat, lembaga masyarakat adat, hingga kewajiban pemerintah daerah dalam hal pengakuan dan perlindungan bagi MHA.

Asisten Program Manager STABIL, Yulita Lestiawati, mengatakan, perda juga diyakini bakal memberi jalan keluar atas sejumlah konflik batas, wilayah kelola, dan tata ruang antar warga maupun dengan perusahaan.

“Perda ini memecahkan konflik tenurial. Perusahaan juga diuntungkan. Ada kekawatiran, pasca perda lahir maka semua mengklaim diri masyarakat adat. Klaim akan dianalisa, diteliti, diverifikasi. Tidak bisa dibuktikan, klaim tidak diberikan,” katanya.

Kini, perda tinggal selangkah lagi untuk menjadi perda. Alih-alih diketok menjadi perda, pemprov menangguhkan pengesahan pada pertengahan Juni 2014 lalu, dengan alasan menunggu lahirnya UU PPHMHA yang baru mulai digodok pemerintah dengan DPR RI.

FDM dan sejumlah pihak kecewa atas penangguhan. Bagi mereka, alasan menunggu pengesahan UU PPHMHA tidak tepat, mengingat sejumlah provinsi telah menerapkan perda serupa lebih dahulu.

“Di lapangan, masyarakat membutuhkan payung hukum. Menunggu lagi, berarti pemerintah terus membiarkan kejadian-kejadian di lapangan. Jangan sampai tidak jadi (disahkan). Semua pihak sudah mengeluarkan miliaran Rupiah lewat berbagai studi banding dan diskusi. Jadi tak perlu sampai seperti Aceh dan Papua yang berdarah-darah dulu baru muncul perda,” kata Jufriansyah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com