Kayu tanaman direbus beberapa jam sehingga bisa memunculkan warna seperti jolawe (bahan untuk jamu), warna indigo dari kayu secang dan mahoni, rosela, serta kunyit. Untuk mendapatkan warna berkualitas, kain direbus sekitar dua jam, dicuci, dikeringkan, kemudian dibatik. Pewarna alam, walau bisa luntur, tidak menempel pada kain lain dan tidak akan pudar.
Variasi warna yang dihasilkan oleh bahan pewarna alam kurang begitu banyak, tetapi perajin batik yang kreatif bisa mengatasi dengan melakukan kombinasi.
Menurut Ririn yang juga menimba ilmu corak dan pewarnaan batik di Balai Besar Batik Yogyakarta, harga produk batiknya paling murah Rp 1,5 juta karena kain batik diproses dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) sehingga bukan hanya pencelupan warna yang memakan waktu lama, menenunnya juga butuh waktu.
”Jadi, tidak mungkin diproduksi secara massal karena ada kain batik yang proses sampai bisa dipakai butuh waktu setahun. Soalnya, coraknya rumit dan banyak warna. Faktor ini membuat produk terkesan mahal dan eksklusif,” kata lulusan Universitas Widyagama, Malang, itu.
Karena proses produksi panjang, rata-rata sebulan Ririn hanya bisa memproduksi 200 lembar batik. Batik tulis Jombang ini sudah memiliki pelanggan setia. Pasar produk ini masih sangat terbuka dan kian disegani. Paling penting, bahan baku untuk pewarnaan kain batik masih berlimpah karena umumnya berupa limbah tanpa perlu impor. (Agnes Swetta Pandia)
baca juga: Berkat Rumah Sunatan, Mahdian Jadi Dokter yang Wirausahawan