KOMPAS.com - Banyak sekali orang yang menanyakan pertanyaan seperti ini sewaktu saya menjadi pembicara seminar, mengadakan kelas, atau bahkan dalam keseharian, ketika saya bertemu dengan banyak orang.
Sebenarnya jawabannya, saya juga tidak tahu waktu yang tepat untuk membeli saham. Mengejutkan bukan? Apakah karena saya kurang pengetahuan? “Wah, Si Ryan kurang pengetahuan nih jangan-jangan.”
Ya, itulah salah satu reaksi yang muncul ketika saya jawab bahwa saya juga tidak tahu waktu yang tepat.
Ada beberapa hal yang menyebabkan saya menjawab demikian, dan inilah yang akan saya bagikan melalui artikel ini. Sehingga, bila besok-besok ada yang bertanya demikian, maka link artikel inilah yang akan saya forward, hahaha....
Hal pertama, apakah definisi yang tepat menurut Anda, sudah pasti tepat bagi saya? Mungkin definisi tepat bagi banyak orang adalah, ketika beberapa saat setelah dibeli, saham tersebut kemudian naik harganya, dan seumur hidup tidak pernah turun lagi. Apakah itu definisi tepat bagi Anda juga?
Bila ya, maka Anda akan sangat, sangat sulit menemukan saham dengan kategori seperti itu. Bisa saja dari 500 saham perusahaan yang meluncur di bursa, Anda hanya bisa menemukan yaaaaa... 1 saja. Dan meski nantinya saya pun memilih saham yang tepat itu, belum pasti bahwa saham itu akan bergerak naik seketika, sesuai dengan apa yang Anda dan saya harapkan.
Karena definisi yang beragam itulah, saya selalu mengatakan bahwa sangat sulit untuk menyamakan definisi waktu yang tepat untuk setiap individu, karena pandangan tepatnya pun berbeda bukan?
Hal kedua, kita harus sadar bahwa mencari ketepatan itu seolah mencari kesempurnaan. Saya memiliki seorang rekan semenjak SMA, yang meskipun baik, sangat senang bila melihat saya dalam kesulitan. Hmm, ini sebenarnya baik, jahat, atau iseng, ya?
Ketika beberapa tahun lalu pasar modal jatuh hingga 50 persen dari titik tertingginya, tentunya teman saya—mengetahui bahwa saya memiliki saham—segera menghubungi saya.
“Ry! Gimana saham lu? Bursa ancur kayak gitu!?”
Saya pun menjawab, “Iya nih, lagi pada turun. Tapi baguslah, banyak saham-saham besar yang mulai terlihat murah dan menarik untuk dibeli lagi.”
Dia menjawab, “Wah, sekarang waktu yang tepat untuk beli dong? Tapi kalau besok sahamnya turun lagi? Lu kan liat tuh Amrik masih babak belur, ngeri kali ya?”
“Iya, tapi sekarang sudah cukup mereda kok tekanan jualnya.”
Pernyataan saya itu kembali disambut dengan jawaban, “Oh, oke lah. Tapi gue mau mulai punya saham agak ngeri. Coba besok naik dikit baru beli deh.”
Dan berakhirlah pembicaraan tersebut.
Selang kurang lebih satu tahun dari hari itu, pasar modal kembali membaik, bahkan dinilai cukup baik, karena pertumbuhan sebesar 150 persen semenjak kejatuhan mulai terjadi pada beberapa saham perusahaan. Berbunyilah kembali telepon saya.
“Ry! Wah, nyesel juga ya nggak beli tahun lalu! Lu enak dong, udah untung?! Sekarang udah naik begini waktunya beli nggak nih?”
Saya pun kembali menjawabnya, “Iya, udah mulai pulih nih, masih punya peluang naik kok, pasar masih cukup kondusif. Malahan ada beberapa yang bisa terus dibeli.”
Teman saya menjawab, “Wah, bukannya sekarang udah kemahalan? Besoklah, kalau turun sedikit, gue mau masuk. Nanti bilang ya, saham apa yang cocok dibeli.”
Pembicaraan itu kembali berakhir, dan waktu pun bergulir. Menjelang akhir tahun itu, pasar sedikit bergejolak akibat kenaikan yang cukup agresif, membuat telepon di saku saya kembali berbunyi, lagi-lagi dari teman saya yang sama.
“Ry! Nah kan, pasar turun sedikit. Apa gue bilang!? Bagus ya beli sekarang?”
Dan kembali saya menjawab, “Oke, oke! Sekarang baik buat dibeli nih. Karena pasar turun, jadi ada waktu untuk memilih saham bagus yang ikut turun.”
Kembali dijawab, “Tapi kalau ternyata pas dibeli tambah turun? Ini naiknya udah tinggi banget dibanding tahun lalu loh? Elu optimis banget bisa naik lebih tinggi.”
Saya menjawab, “Ya, namanya orang punya saham. Yang optimis dong pasar bisa tumbuh.”
Telepon terakhir dari teman saya ini berakhir dengan, “Nanti kalau udah naik sedikit baru gue beli.” Dan akhirnya, pasar kembali naik, hingga hari ini menyentuh Indeks Harga Saham Gabungan di atas Rp5.000. Dan teman saya tidak lagi menghubungi saya pada saat pasar naik maupun turun.
Dari pengalaman saya tadi, memang jelas bahwa konsistensi akan jauh lebih baik daripada ketepatan.
Saya berani menggaransi bahwa tidak ada satu pun pelaku pasar yang benar-benar berani memberikan jaminan bahwa pasar akan bergerak ke arah tertentu, apalagi bisa memberikan rekomendasi waktu yang tepat untuk membeli saham.
Karena itu, saya berkesimpulan bahwa waktu yang tepat untuk membeli saham adalah ketika Anda membeli saham itu sendiri.
Masalah saham itu akan bertumbuh atau berkembang, itu bergantung pada apa yang Anda pilih dan konsistensi Anda.
Salam Investasi untuk Indonesia.
Ryan Filbert merupakan praktisi dan inspirator investasi Indonesia. Ryan memulai petualangan dalam investasi dan keuangan semenjak usia 18 tahun. Aneka instrumen dan produk investasi dijalani dan dipraktikkan, mulai dari deposito, obligasi, reksadana, saham, options, ETF, CFD, forex, bisnis, hingga properti. Semenjak 2012, Ryan mulai menuliskan perjalanan dan pengetahuan praktisnya. Buku-buku yang telah ditulis antara lain: Investasi Saham ala Swing Trader Dunia, Menjadi Kaya dan Terencana dengan Reksa Dana, Negative Investment: Kiat Menghindari Kejahatan dalam Dunia Investasi, dan Hidden Profit from The Stock Market. Ryan juga baru saja menerbitkan dua seri buku baru yang berjudul Bandarmology dan investasi pada properti Rich Investor from Growing Investment. Setiap bulannya, Ryan Filbert sering mengadakan seminar dan kelas edukasi di berbagai kota di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.