Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Perwujudan Komitmen Jokowi

Kompas.com - 26/06/2015, 07:29 WIB

 

Tambahan modal ke BUMN ini rentan menjadi sasaran bagi-bagi kekayaan oleh elite-elite politik. Apalagi, saat pengisian jabatan di sejumlah BUMN, terkesan ada bagi-bagi jabatan yang notabene balas budi pemerintah, seiring ditunjuknya beberapa pendukung dan tim sukses Jokowi saat Pilpres 2014 sebagai komisaris atau direksi.

Potensi BUMN menjadi "sapi perah" elite politik membesar karena masih lemahnya pengawasan dan tidak transparannya pengelolaan. Buktinya, banyak direksi BUMN yang terjerat kasus korupsi.

Target yang dipatok pemerintah dari suntikan modal itu pun tidak jelas, terutama bagaimana memberikan manfaat maksimal bagi kemakmuran rakyat. Jika dilihat dari fakta selama ini, dividen yang diterima negara dari BUMN selalu tidak maksimal.

Pada 2014, misalnya, pemerintah hanya mengantongi dividen Rp 40,3 triliun. Dibandingkan total dana yang disuntik pemerintah Rp 934 triliun, return on investment (ROI) BUMN hanya 4,2 persen. Bahkan, dalam APBN-P 2015 pun, pemerintah hanya menargetkan dividen BUMN Rp 36,9 triliun.

Padahal, PMN sebesar Rp 64,88 triliun itu diperoleh dengan berutang. Akibatnya, utang Indonesia akan terus membengkak. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total utang pemerintah per Januari 2015 mencapai Rp 2.702 triliun. Dalam APBN-P 2015, pemerintah berencana menambah utang Rp 279,38 triliun. Kondisi ini membuat APBN ke depan akan selalu terbebani pembayaran pokok dan bunga utang yang cukup besar.

Saat pembahasan akhir APBN-P 2015, disetujui tambahan anggaran untuk DPR Rp 1,63 triliun sehingga total anggaran DPR tahun 2015 mencapai Rp 5,19 triliun. Dalam tambahan Rp 1,63 triliun tersebut terdapat anggaran dana rumah aspirasi Rp 84 miliar. Dari dana tersebut, setiap anggota DPR yang berjumlah 560 orang mendapat dana rumah aspirasi Rp 12,5 juta per bulan.

Firdaus Ilyas dari Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hal itu sebagai kompromi kepentingan politik. "Dalam konteks ini, anggaran digunakan lebih untuk politik kekuasaan ketimbang untuk kepentingan rakyat," kata Firdaus.

Dalam perjalanannya, politik anggaran pemerintahan Jokowi yang prorakyat ternyata juga belum banyak terbukti. Dampak kenaikan harga akibat dihapusnya subsidi Premium seharusnya sudah bisa diantisipasi pemerintah. Namun, yang terjadi, harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi sehingga makin menyengsarakan rakyat kecil yang ingin menikmati bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com