Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuhan, Rakyat, dan Neolib, Jurus Ampuh untuk Tarik Simpati

Kompas.com - 16/11/2015, 05:45 WIB


Di surat kabar, saya lihat Si A menjadi media darling dengan tema kerakyatannya. Nasihat teman-temannya ampuh. Dia kelihatannya bakal aman dari isu reshuffle kabinet.

Di kampus, mahasiswa-mahasiswa saya yang akan meniti karier sebagai politisi berujar, "Kalau mau berhasil, jangan lupa eksploitasi kata 'rakyat'!"

Saya tertegun. Di Gunung Botak, Pulau Buru, sudah lama saya meneriakkan agar penambangan emas liar dihentikan. Namun, di daerah pengabdian kami ini (Rumah Perubahan membangun integrated farming di sana), masyarakat lebih suka masuk ke dalam lubang-lubang tambang ketimbang menyuling minyak kayu putih dan beternak.

Sewaktu saya ceritakan tentang kerusakan alam yang diakibatkan dan munculnya penyakit-penyakit sosial, banyak pejabat yang enggan turun tangan. "Biarkan saja, itu kan tambang rakyat," ujar mereka.

Lagi-lagi kata "rakyat" seperti menghentikan langkah mereka. Yang mereka tidak paham, rakyat-rakyat itu tidak bergerak sendirian.

Di balik pertambangan rakyat itu ada tauke-tauke besar yang memodali para penambang yang datang dari berbagai daerah untuk memasuki lubang-lubang tambang dan menyebar bubuk-bubuk kimia berbahaya ke aliran sungai yang mengairi sawah-sawah penduduk.

Jangankan di Pulau Buru, di daerah permukiman di Jakarta saja, orang-orang berduit bisa menggerakkan tetangga-tetangga untuk menutup jalan dengan menggunakan kata "warga".

Apalagi kalau diembel-embeli kata "peduli", "penjaga", "pelindung", dan seterusnya, mereka bisa menutup akses jalan ke kampung, memasang puluhan undakan (polisi tidur), portal, dan seterusnya.

Dengan mengatasnamakan "warga", mereka bisa memprovokasi tindakan dan menakut-nakuti wali kota.

Menjual "Tuhan"

Anda yang pernah menonton film satir "PK" yang dikemas secara jenaka mungkin masih ingat ucapan Amir Khan, "Ada dua Tuhan, bukan satu. Pertama adalah Tuhan yang menciptakan manusia, dan kedua, Tuhan yang diciptakan manusia."

Melalui film jenaka itu, kita bisa lihat bahwa selain kata "rakyat" atau "warga", kini kata "Tuhan" pun marak dipakai untuk berdagang.

Kali ini, bukan Si A atau Si B yang menjadi menteri, melainkan Si C yang jadi gubernur dan Si D yang memimpin organisasi preman.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com