Di Jepang hingga saat ini kita bisa menemukan perusahaan kecil-menengah yang dikelola dengan basis bisnis keluarga. Produknya variatif, mulai dari produk tradisional (yang sejak dulu memang dikerjakan secara turun temurun) seperti kecap (shoyu), miso, hingga produk manufaktur. Demikian pula di sektor jasa. Bisnis dikepalai oleh bapak (oyaji) sebagai shacho (direktur utama), kalau nanti dia pensiun biasanya akan diteruskan oleh anaknya.
Beberapa bagian dari konsep kekeluargaan itu bertahan meski perusahaan membesar, mendunia, dan mengadopsi konsep manajemen modern.
Konsep ini kerap memunculkan masalah ketika perusahaan Jepang berbisnis di luar Jepang. Konsep kekeluargaan menjadi kabur maknanya. Mereka sendiri saya duga tak siap untuk memasukkan orang-orang lokal ke dalam lingkaran kekeluargaan mereka.
Orang lokal sulit dianggap sebagai bagian dari uchi. Tak sedikit yang merasakan adanya diskriminasi. Ada orang yang bercerita bahwa di perusahaannya toilet saja dipisahkan, untuk staf Jepang dibuatkan toilet khusus, yang tidak boleh dipakai oleh orang lokal (kebenaran dan situasi kontekstualnya tidak saya konfirmasi).
Tapi pada saat yang sama dalam banyak kasus mereka tidak menyadari hal itu. Sering mereka heran melihat rendahnya rasa memiliki pada karyawan mereka.
Mereka heran ketika serikat pekerja, misalnya, tak jarang memperlakukan perusahaan sebagai musuh, bukan sebagai rumah tempat para pekerja itu bernaung. Padahal, menurut hemat saya, itu sebuah konsekwensi logis. Anak yang tak jelas diterima atau tidak di suatu rumah, tak akan merasa nyaman di rumah itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.