Pada September 2011, nilai ekspor Indonesia sempat menyentuh angka tertinggi yakni sebesar 18,65 miliar dollar AS.
Sejak itu, perlahan-lahan, nilai ekspor terus menurun hingga hanya 10,5 miliar dollar AS pada Januari 2016.
Sejak itu pula, perlahan-lahan, neraca ekspor – impor Indonesia menjadi negatif atau defisit, yang berarti nilai impor lebih besar dari nilai ekspor.
Ekspor yang memburuk sehingga terjadi defisit neraca perdagangan inilah yang menyebabkan kurs rupiah terus melemah dalam lima tahun terakhir.
Lalu, bagaimana melihat fenomena penguatan rupiah yang terjadi belakangan ini?
Jelas terlalu dini untuk menyimpulkan penguatan rupiah disebabkan oleh membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.
Sebab, hingga Januari 2016, kinerja ekspor Indonesia masih lemah meskipun neraca perdagangan sudah mencatat surplus.
Penguatan rupiah kali ini lebih disebabkan oleh faktor sentimen, spekulasi, dan eksternal. Karena itu, jika fundamental ekonomi Indonesia tidak membaik, penguatan hanya akan berlangsung sementara.
Pasar keuangan yang semakin mengglobal dan terbuka saat ini menyebabkan uang bisa berpindah-pindah dengan cepat dan cair dari suatu negara ke negara lain.
Prinsipnya, uang akan mengalir ke instrumen yang lebih menguntungkan dengan risiko yang terukur.
Tentu saja, instrumen keuangan dan pasar modal di negara berkembang termasuk Indonesia cenderung menawarkan imbal hasil yang lebih menarik ketimbang negara maju.
Apalagi, investasi di negara maju seperti AS dan negara-negara Eropa semakin tidak menarik karena kebijakan moneternya yang mengarah pada suku bunga nol persen, bahkan minus.
Nah, masuknya dana-dana asing itulah yang membuat kurs rupiah menguat.
Sebab, permintaan rupiah meningkat mengingat dana-dana asing itu harus dikonversi ke rupiah sebelum ditanamkan di instrumen keuangan domestik.
Sesuai hukum permintaan dan penawaran, nilai tukar akan menguat jika permintaannya tinggi.