Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Pajak, Gayus, Tax Amnesty

Kompas.com - 19/04/2016, 20:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pagi itu, di akhir-akhir Maret 2016, tiba-tiba saya merasa begitu bangga sebagai orang Indonesia.

Saya juga terharu menyaksikan ratusan orang rela menyemut dan mengantri berjam-jam untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak tahunannya di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Depok.

Saya merasa, masyarakat Indonesia ternyata memiliki kesadaran tinggi untuk membayar pajak, sebagai cermin warga negara yang baik.

Dunia pasti tidak bisa berkata-kata jika ada di samping saya saat itu (merujuk slogan pajak, “apa kata dunia?”)

Memang betul, sebagian pembayar pajak yang mengantri di sekeliling saya ada yang mendumel. “Gue bayar pajak tiap tahun, tapi kayaknya pembangunan begitu-begitu aja,” begitu sekelumit yang saya dengar.

Apapun itu, mengomel atau ikhlas, yang pasti mereka tetap memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Itulah yang membuat saya haru dan bangga.

Namun, tak sampai seminggu, rasa kebanggaan itu sudah koyak.

Pada tanggal 4 April 2016, muncul berita heboh tentang skandal keuangan “Panama Papers”, yakni jutaan dokumen milik firma hukum Mossack Fonseca yang bocor ke publik.

Dokumen yang bocor itu mengungkapkan aset dan kekayaan baik milik pribadi maupun perusahaan yang disembunyikan dalam yurisdiksi bebas pajak.

Sebagian praktik itu ditengarai terkait dengan upaya pencucian uang, penggelapan pajak, dan penyamaran uang hasil tindak pidana seperti korupsi.

Yang membuat miris, sejumlah nama tokoh Indonesia disebut-sebut juga masuk dalam daftar Panama Papers.

Saya tidak habis pikir, mengapa orang-orang yang tidak kaya (kelas menengah ke bawah) yang saya temui di KPP Pratama Depok antusias membayar pajak, namun orang-orang kaya dan super kaya malah bersembunyi dari pajak.

Padahal, merekalah yang paling banyak menikmati kue pembangunan di negeri ini.

Memang, orang yang menggunakan jasa Mossack Fonseca belum tentu melakukan tindak kriminal.

Siapa pun sah-sah saja mendirikan perusahaan cangkang atau SPV untuk kepentingan bisnis.

Namun, jika aset dan transaksi perusahaan itu tidak dilaporkan, tentu namanya mengemplang pajak.

Meskipun bukan tindak pidana, seorang penyelenggara negara akan dipertanyakan moral dan keetisannya jika berbuat demikian.

Salah satu pejabat negara yang namanya tercantum dalam Panama Papers adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis.

Dalam klarifikasinya bersama Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi Jumat (15/4/2016), Harry menjelaskan, ia mendirikan company papers di Hongkong pada 2010 saat menjabat Ketua Komisi XI DPR yang membidangi masalah keuangan dan perbankan.

Namun, perusahaan itu tidak pernah beroperasi sehingga tidak ada transaksi dan aset apapun. Harry pun sudah mundur dari perusahaan itu sejak 1 Desember 2015.

“Klarifikasinya, kalau memang ada kekurangan bayar, saya siap selaku wajib pajak yang patuh. Berapa pun yang dinyatakan oleh DJP, saya siap bayar,” kata mantan politisi Golkar itu.

(Baca : Ditjen Pajak Klarifikasi Harry Azhar Azis)

Seminggu berikutnya, kebanggaan saya yang sudah tinggal sisa-sisa akhirnya runtuh dan justru menjelma menjadi kesedihan.

Pembunuhan dua petugas Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Sibolga, Sumatera Utara oleh wajib pajak sangat membuat miris hati.

Dua petugas pajak itu, Parado Toga Fransiano Siahaan dan Sozanolo Lase tewas ditikam oleh pengusaha karet berinisial AL saat hendak menagih tunggakan pajak yang belum juga dibayar AL.

Jika hanya mengemplang pajak, mungkin masih wajar. Namun, jika sampai membunuh petugas pajak yang ingin menagih tunggakan pajak, jelas situasinya menjadi sangat berbahaya.

Pertistiwa tersebut membawa profesi pajak ke level risiko yang baru.

Meskipun bersifat kasuistis, kondisi ini sedikit banyak pasti memengaruhi mental dan psikologi para petugas pajak.

Apalagi Ditjen Pajak telah mencanangkan tahun ini sebagai tahun penegakan hukum.

Tahun penegakan hukum

Terlepas dari cerita-cerita “baper” (bawa perasaan) saya soal pajak tadi, selama pemerintahan Presiden Jokowi, persoalan pajak telah menjadi salah satu isu sentral dan krusial di negeri ini.

Itu terjadi karena rezim Jokowi, mengubah drastis wajah dan struktur APBN.

Belanja infrastruktur dinaikkan secara drastis dalam dua tahun terakhir, sehingga menciptakan beban baru di sektor penerimaan.

Kemenkeu/M Fajar Marta Perbandingan Anggaran Infrastruktur Era Jokowi (2015 - 2016) dan SBY (2010 - 2014)

Penerimaan pajak diharapkan dapat memenuhi kebutuhan belanja infrastruktur.

Tahun 2015, yang merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi menyusun APBN secara penuh, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.489,3 triliun.

Namun, realisasinya jauh panggang dari api, penerimaan pajak pada tahun itu hanya mencapai Rp 1.235,8 triliun, atau meleset Rp 253,5 triliun.

Seiring jatuhnya harga migas dan komoditas tambang, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun jatuh dari Rp 390,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 252,4 triliun.

Selain target yang ambisius, tak tercapainya target juga akibat kondisi ekonomi global yang terpuruk sehingga memengaruhi pula pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,79 persen, melambat dibandingan tahun sebelumnya yang sebesar 5,02 persen.

Namun, memang tidak mudah meningkatkan pajak secara konvensional, dengan mengharap kesadaran wajib pajak meningkat secara otomatis.

Dari 75 juta jiwa penduduk Indonesia yang semestinya bayar pajak, baru 20 juta jiwa yang memiliki nomor pajak wajib pajak.

Sudah begitu, hanya 9,92 juta jiwa yang menyampaikan laporan pajak dan tidak semuanya bayar pajak.

Selain itu, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga rendah, hanya berkisar 12 persen.

Ekonom senior Dradjad Wibowo mengatakan, jika mengacu pada negara-negara tetangga yang kondisi ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, negeri ini seharusnya bisa mencapai angka tax ratio atau penerimaan pajak terhadap PDB sebesar 20 persen.

Artinya, ada potensi penerimaan pajak yang tidak disetorkan kepada negara.

Kemenkeu/M Fajar Marta Perkembangan Rasio Pajak terhadap PDB

Karena sulitnya meningkatkan pajak secara konvensional, pemerintah mengambil langkah terobosan pada 2016.

Tahun 2016 dicanangkan sebagai tahun penegakan hukum di sektor pajak.

Artinya, pemerintah akan memaksa para pengemplang pajak untuk membayar pajak secara semestinya. Jika tidak, akan diambil tindakan hukum, termasuk pidana.

Pemerintah percaya diri melakukan hal itu karena pemerintah kini telah mengantongi daftar perusahaan-perusahaan pengemplang pajak baik perusahaan lokal maupun asing.

Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pihaknya memiliki data 2.000 perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang tidak membayar pajak secara semestinya dengan alasan merugi.

Padahal, menurut pemeriksaan pajak, setiap perusahaan seharusnya membayar pajak 
rata-rata Rp 25 miliar per tahun.

Kementerian Keuangan juga menemukan 5 juta wajib pajak yang memiliki lebih dari satu sumber pendapatan.

Namun, ternyata baru 900.000 wajib pajak yang benar-benar membayar pajak dengan nilai hampir Rp 9 triliun.

Selain itu, di satu negara, ada sedikitnya 6.000 rekening WNI dan ada 2.000 Special Purpose Vehicle  yang berkaitan dengan mereka.

Dana yang tersimpan itu hingga kini belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak.

Namun, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang malah menjadi bumerang bagi perekonomian, pemerintah berharap bisa terlebih dahulu mengimplementasikan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty).

RUU tentang Tax Amnesty kini sedang dibahas pemerintah dan DPR.

Dengan memanfaatkan skema Tax amnesty tersebut, pemerintah berharap dana yang disimpan WNI di luar negeri dapat kembali  secara sukarela.

Pemerintah memperkirakan, pendapatan pajak akan bertambah Rp 70 – 100 triliun jika tax amnesty diberlakukan.

Jika dana di luar negeri tak juga kembali, padahal skema tax amnesty telah disediakan, barulah, penegakan hukum akan dijalankan.

Dengan bekal tax amnesty dan penegakan hukum, pemerintah pun mencanangkan target pendapatan pajak 2016 yang sangat optimistis yakni Rp 1.360,2 triliun.

Meskipun hingga Triwulan I 2016 penerimaan pajak masih amat rendah, Bambang tetap optimistis target dapat dicapai.

Kemenkeu/M Fajar Marta Perkembangan Penerimaan Pajak

 

Tax amnesty

Terkait tax amnesty, sejumlah pihak masih meragukan efektifitasnya.

Dradjad Wibowo mengatakan, orang kaya Indonesia lebih senang menempatkan uangnya di Singapura karena pajak penghasilannya  hanya 17 persen, sementara di Indonesia mencapai 30 persen.

Di Indonesia, aset seperti tanah dan rumah juga dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara negara lain sudah menghapuskannya.

Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia Reza Syawawi, seperti dalam tulisannya di harian Kompas (16/4/2016) mengatakan, RUU Pengampunan Pajak didesain untuk mengeliminasi atau meniadakan fungsi UU lain khususnya yang terkait dengan tindak pidana.

Di dalam RUU ini sangat gamblang dijelaskan bahwa pengampunan pajak adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan.

Ketentuan ini tentu saja akan berpotensi bertentangan dengan beberapa UU, seperti UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang, tindak pidana lain yang berkaitan dengan sektor pajak.

Menurut Reza, dalam konteks ini, timbul perbedaan perlakuan negara terhadap subyek hukum tertentu ketika berhadapan dengan hukum.

Bagi yang memiliki uang, mereka dengan mudah membayarkan sejumlah uang dan terbebas dari proses hukum.

Padahal, menurut prinsip hukum yang dianut konstitusi, persamaan kedudukan di dalam hukum adalah hal yang mutlak dipenuhi terhadap semua warga negara.

Perbedaan perlakuan ini juga dengan sendirinya akan menciptakan ketidakpastian hukum di dalam masyarakat.

Tidak hanya itu, penerapan tax amnesty dan penegakan hukum juga berpotensi menimbulkan moral hazard terkait integritas pegawai pajak.

Sebab uang trilliunan rupiah yang bisa membuat silau mata siapa pun.

Saya teringat cerita seorang pejabat PPATK yang menceritakan bagaimana informasi PPATK tentang pengemplang pajak malah dimanfaatkan petugas pajak untuk memeras wajib pajak bersangkutan.

Kita pun masih ingat beberapa oknum pajak sempat menghebohkan negeri ini seperti Gayus HP Tambunan, Bahasyim Assifie, Dhana Widyatmika dan lainnya.

Banyak modus yang bisa dilakukan pegawai pajak untuk korupsi, mulai dari menerima suap untuk meringankan pembayaran oleh wajib pajak hingga jasa konsultasi agar pembayaran pajak bisa lebih kecil dari seharusnya.

Gaji yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai negeri sipil (PNS) lainnya ternyata tidak menyurutkan niat korupsi pegawai pajak.

Gayus, Bahasyim, dan Dhana merupakan contoh betapa mudahnya korupsi di Ditjen Pajak.

Gayus, misalnya, hanya dalam kurun tujuh tahun bekerja di Ditjen Pajak sudah bisa mengumpulkan pundi-pundi lebih dari Rp 100 miliar.

Bahasyim, meskipun dalam rentang waktu yang lebih panjang, kekayaan yang dikumpulkannya tetap spektakuler, mencapai Rp 61 miliar.

Sementara Dhana, dalam usia 37 tahun, disebut-sebut sudah memiliki kekayaan hingga Rp 60 miliar.

Yang juga menarik dari kasus ketiganya adalah bagaimana cara masing-masing mencuci uang haramnya.

Gayus paling konvensional karena menaruh begitu saja asetnya dalam rekening bank dan safe deposit box.

Bahasyim sedikit lebih maju. Meskipun masih disimpan dalam sistem perbankan, uangnya diputar-putar antar-rekening keluarganya, persis seperti mesin cuci yang memutar pakaian kotor. Semakin diputar-putar, tentu makin sulit ditemukan asal-usul dana itu.

Nah, modus pencucian uang yang paling canggih sejauh ini adalah milik Dhana. Ia tidak lagi mengandalkan sistem keuangan semata seperti halnya Gayus dan Bahasyim.

Dhana ternyata lebih banyak mencuci uangnya di sektor riil.

Dhana memiliki banyak usaha, mulai dari bisnis jual-beli mobil, minimarket, perdagangan, hingga properti.

Modus pencucian uang yang dilakukan Dhana jelas lebih sulit dideteksi karena menggunakan rekening perusahaan.

Setiap transaksi yang dilakukan perusahaan, besar atau kecil, biasanya dianggap normal.

Jadi jelaslah, bahwa tax amnesty dan penegakan hukum tidak hanya semata soal aturan, tetapi juga integritas para petugas pajak itu sendiri.

Menerapkan tax amnesty dan penegakan hukum tanpa membenahi pengawasan petugas pajak hanya akan menimbulkan masalah baru.

Semua tentu tak berharap tax amnesty dan penegakan hukum malah dimanfaatkan oknum tak bertanggung jawab.

Jika itu yang terjadi bisa-bisa bukan Ditjen pajak yang melakukan penegakan hukum kepada para pengemplang pajak, tetapi KPK yang menegakkan hukum terhadap para oknum pajak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com